Jadi bagi setiap orang yang telah masuk dalam kelompok sasaran vaksin menjadi suatu kewajiban, tetapi dalam ayat (3) ada pengecualian bagi yang tidak memenuhi kriteria penerima vaksin.
Karena vaksin adalah suatu kewajiban bagi yang memenuhi kriteria, maka bagi yang menolak dikenai sanksi administrasi, sebagaimana ayat (4), bahwa;
"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa" :
a). penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b). penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau
c). denda.
Terhadap pihak yang berwenang memberikan sanksi administrasi diserahkan ke kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan lain sesuai kewenangannya.
Sanksi administrasi diatas bukanlah satu-satunya sanksi dan tidak bersifat alternatif saja. Unsur pemaknaan yang semula delik pelanggaran justru menjadi sanksi bersifat kumulatif dengan delik kejahatan pidana.
Sebagaimana Pasal 13B dengan rumusan dimana seseorang melanggar ketentuan Pasal 23A ayat (2) ketika tidak mengikuti vaksin maka dianggap dengan tuduhan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19 dengan menunjuk UU wabah penyakit menular.
Adapun bunyi pasal 13B, berikut ini;
"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID- 19, yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran COVID- 19, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (a) dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular."
Maksud Pasal 13B menunjuk UU Wabah Penyakit Menular adalah UU No. 4/1984. Ketika UU ini ditunjuk oleh Pepres No. 14/2021 sebagai pendelegasian penerapan sanksi kumulatif, maka lengkap sudah bahwa seseorang yang memenuhi kriteria untuk menerima vaksin dan tidak melakukannya maka dianggap sebagai bentuk "pelanggaran sekaligus kejahatan".
Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4/1984 pada Bab VII Ketentuan Pidana, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3);