Apalagi kalau kategori kasus yang mengarah pada pemberian hadiah atau gratifikasi yang semestinya kasus seperti ini tidak dapat di OTT karena dapat dicegah dengan diingatkan untuk diberi dulu kebebasan melaporkan pemberian hadiah atau gratifikasi itu kepada aparat hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tempo 30 hari setelah kejadian.
"Apalagi Istilah "gratifikasi" sendiri bukanlah pelanggaran hukum. Hanya gratifikasi yang melanggar ketentuan hukumlah yang dapat dipidana"
Kritik penulis juga terkait dengan memberat-beratkan kasus yang tidak diatur dalam ketentuan hukum. Katakanlah dengan tambahan tuduhan "memperdagangkan pengaruh untuk menguntungkan diri sendiri dan pihak pemberi gratifikasi". Ini sangkaan yang mengada-ada karena dari mana dasar maupun sumber hukumnya? karena tindakan perdagangan pengaruh itu sendiri belum dimasukkan kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun undang-undang lain.
Padahal dalam hukum pidana kita mengenal asas legalitas yang hakikatnya mengatur tentang sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan delik atau bukan. Kandungan asas legalitas itu termuat dalam Pasal 1 KUHP yang berarti asal dari perbuatan bilamana memenuhi rumusan Undang-Undang itu disebut dengan delik atau tindak pidana dan harus dipidana.
Atau asas legalitas itulah yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada aturannya.
Kesimpulan
Tulisan ini mungkin saja terlalu singkat dan tidak menggambarkan utuh sebagaimana sebuah studi kasus, tetapi hanya sebagai sebuah kritik dan koreksi kepada aparat penegak hukum bahwa apa yang mereka lakukan itu akan dapat dinilai dari aspek asas, norma, dan aturan hukum yang berlaku.
Katakanlah hakim sebagai pemutus perkara kadang memberikan hukuman tambahan yang tidak didakwakan jaksa. Ini pertanda masih terdapat hakim yang kurang membaca UU mereka sendiri tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim diharuskan menggali semua fakta dan aspek suatu perkara demi menghadirkan keadilan dalam kepastian hukum.
Kemudian soal aparat hukum Polisi, Jaksa, dan terkhusus KPK harus diluruskan kembali bahwa penggunaan istilah operasi tangkap tangan (OTT) itu sama dengan istilah "tertangkap tangan" atau "tertangkap basah". Maka menjadi suatu keanehan kalau seseorang disadap berbulan-bulan lalu di OTT, maka secara hukum itu bukan tertangkap tangan, melainkan pengintaian dan penjebakan.
Itulah kenapa kasus korupsi tidak dapat diberantas di Indonesia dan tidak ada obat mujarabnya sampai saat ini disebabkan sistem yang dibangun KPK bukan membuat orang takut melakukan perbuatan korupsi tetapi orang takut kepada KPK-nya.
Celakanya, sampai saat ini tidak disadari dan terus saja dipraktekan sebagai sebuah sistem yang berlaku. Padahal sarana pengintaian atau penyadapan bisa menjadi instrumen penegak hukum untuk melakukan pencegahan agar pelanggaran hukum tidak sampai terjadi. Dan itu tugas mulia penegak hukum yang dapat mengingatkan dan mencegah orang untuk tidak berbuat kejahatan.