Bukankah setiap hakim memutus perkara berdasarkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa" sebagai kepala putusan yang bermakna sumpah? Bukankah sudah menjadi kewajiban hakim untuk memutuskan perkara secara bijaksana?
Tugas penegakan hukum dan keadilan yang dijalankan seorang hakim adalah atas nama Tuhan. Sehingga seharusnya jangan anggap remeh makna irah-irah putusan karena itu roh dari sebuah putusan. Arti atas nama Tuhan Yang Maha Esa berarti dimaknai bahwa setiap hakim dalam memutuskan perkara, maka pertanggungjawaban sang hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan kepada penguasa umum atau bukan kepada kepentingan politik apalagi berdasarkan plesetan yang menyakitkan yaitu KUHP ("Kasih Uang Habis Perkara") atau HAKIM disebut ("Hubungi Aku Kalau Ingin Menang").
Kasus-Kasus Bermotif Khusus
Kondisi lain dari penegakkan hukum yang tidak jelas asas keadilan dan kemanfaatan ketika berkaitan dengan penanganan operasi-operasi berbagai kasus tindak pidana yang sarat dengan muatan politik tertentu atau diIsitilahkan bermotif khusus.
Misalkan, modus operasi tangkap tangan atau sering dikenal dengan  istilah ("OTT"). Ada pula sangkaan kasus dugaan "gratifikasi", lalu ada kasus-kasus yang sedikit memakan waktu kalau dimulai dari tahap penyelidikan dan dinaikan pada tingkat penyidikan.
Dibanyak perkara yang sarat dengan muatan politik atau dari niat penegak hukum untuk pencitraan dalam mencari popularitas atau atas dasar dendam dan motif tertentu. Maka dipastikan akan dibangun dulu sebuah opini agar publik berpihak untuk mengelabui modus sebenarnya untuk tujuan mencari-cari kesalahan.
"Padahal tugas mulia penegak hukum itu bukan mencari-cari kesalahan, melainkan mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Penegak hukum bukanlah "tukang-tukang hukum", melainkan pengawal ketaatan hukum dan pencipta rasa keadilan".
Salah satu kritik penulis adalah misal terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan aparat hukum baik Polisi, Jaksa maupun petugas KPK. Sepintas memang OTT kelihatan begitu heroik dan tampak penegak hukum bagai seolah-olah hero dan pihak yang di OTT langsung pada saat itu juga divonis sebagai penjahat oleh publik.
Sudah cukup banyak bahkan ratusan kasus OTT yang penulis terus amati dari aspek berbeda karena penulis selalu memegang prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang merupakan asas yang sangat fundamental dan universal berlakunya dalam hukum acara pidana. Asas ini menempatkan seorang tersangka atau terdakwa sebagai orang yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Tetapi coba kita ikuti dan cermati dibanyak operasi tangkap tangan yang menjerat pelaku dengan sangkaan gratifikasi atau kasus suap, maka seketika itu juga pelaku langsung divonis sebagai pelaku kejahatan. Kenapa? Karena operasinya dilakukan disertai liputan pemberitaan media massa. Dan fatalnya aparat hukum yang melakukan operasi tangkap tangan itu dengan gamblangnya membuat pernyataan dihadapan media bahwa, "operasi ini merupakan obyek yang sudah ditarget berbulan-bulan dan telah kami ikuti dan melakukan penyadapan dan seterusnya".
Aparat bisa saja mempengaruhi nalar yang awam hukum, padahal itu adalah suatu tindakan penyimpangan dalam penegakan hukum. Justru memperlihatkan bahwa aparat hukum kita bekerja hanya untuk mencari-cari kesalahan bukannya melaksanakan tugas mulia untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum, mengawal ketaatan hukum dan pencipta rasa keadilan.