DKPP Lembaga Penegak Kode Etik Modern Ditengah Fenomena Etika Menyimpang Perilaku Pejabat Publik*)
Oleh : Hidayatullah, S.H**)
"Setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum karena etika itu lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial untuk bekerjanya sistem hukum. Jika etika di ibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. "Law floats in a sea of ethics", kata Warren.Â
(Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua DKPP 2012-2017).
"Mindset indikator keberhasilan DKPP adalah ke arah efektifitas putusan DKPP dan kepuasan pencari keadilan pemilu (justice seeker) bukan kuantitas perkara, karena pada titik itulah urgensi demokrasi substantif dalam pemilu akan tercapai."
 (Dr. Hardjono, Ketua DKPP 2017 -- 2020)
"Selalu ada potensi penyelenggara pemilu melenceng dari tugas dan kewajibannya serta memihak peserta pemilu. Bagaimanapun, penyelenggara pemilu adalah manusia biasa. Ada sisi baik dan potensi jahat pada diri mereka. Maka mewujudkan Pemilu yang berintegritas salah satunya ditentukan oleh penyelenggara pemilu yang juga berintegritas, integritas penyelenggara pemilu juga harus didukung oleh regulasi yang jelas dan tegas, peserta pemilu yang kompeten, serta birokrasi yang netral."Â
(Prof. Dr. Muhammad, Ketua DKPP 2020-2022)
Prakata
Di awal tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas amanah dan kepercayaan yang diberikan oleh DKPP selama kami bertugas sebagai Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP dari unsur tokoh masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara periode 2019-2021 bersama rekan Prof. Dr. Ir. La Ode Safuan, MP. Kami mengakhiri tugas sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan DKPP No. 1/2019 Perubahan atas Peraturan DKPP No. 5/2017 tentang Tim Pemeriksa Daerah bahwa, "TPD dari unsur KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi dan unsur masyarakat bertugas selama satu tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa tugas berturut-turut atau tidak berturut-turut".
Kami berdua menjalani perpanjangan berturut-turut sehingga purna tugas pada 31 Maret 2021. Dalam dua tahun masa tugas itu setidaknya ada sejumlah perkara etik yang ditangani sebagai perpanjangan tangan DKPP di Sultra. Selama bertugas selaku majelis hakim pemeriksa etik cukup banyak peristiwa etik dan perilaku menyimpang yang muncul di penyelenggara pemilu di Sultra dengan beragam sanksi dan juga rehabilitasi.Â
Tentu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja dengan banyak pengalaman dan pengetahuan diperolah baik dari segenap pimpinan DKPP maupun dalam proses menangani sidang perkara di daerah. Masih ada yang perlu di koreksi dan banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk ditulis oleh kita dan mereka-mereka yang pernah merekam cerita dari tapak jejak perkara pelanggaran kode etik para penyelenggara pemilu. Olehnya itu, tulisan ini sebagai persembahan diakhir masa tugas penulis dalam bait-bait ide dan cerita melihat kemodernan peradilan etik DKPP ditengah banyaknya fenomena etika menyimpang pejabat publik lainnya yang sebenarnya juga memiliki lembaga etik setara dengan DKPP.
Sebuah Catatan; Â "Jangan Pernah Coba Mencoreng Kredibilitas dan Integritas"
Selama menjadi TPD DKPP, lembaga penegak etik penyelenggara pemilu ini sangat dominan dengan kekhasannya dalam meneguhkan kredibilitas dan integritas yang dijaga ketat oleh DKPP. Kekhasan DKPP berkait erat dalam meneguhkan integritas, dan dengan integritas itulah yang selama ini DKPP membuat publik sungguh percaya dengan keputusan-keputusannya.
Dari semua catatan yang ditorehkan DKPP ternyata tidak hanya monoton ajudikasi dalam persidangan, tetapi dengan inovasi, edukasi dan pemanfaatan teknologi informasi diluar sidang yang membangun moral penyelenggara pemilu agar menjadi seseorang penyelenggara yang harus kredibel dan berintegritas.
DKPP membangun moral penyelenggara pemilu sebagai pejabat publik yang harus diyakini publik untuk harus berbuat benar, harus bermain dalam aturan, dan harus berkomitmen membangun dan merawat demokrasi. DKPP terus konsisten berupaya menciptakan pemilu dan demokrasi yang berkeadaban tidak saja dalam ucapan dan keputusan-keputusannya tetapi dengan tindakan-tindakan yang menjaga keadaban, mengajarkan perilaku terbaik yang dibingkai nilai-nilai etis yang adiluhung dan bersifat universal.Â
Sehingga ketika Presiden sekalipun menganulir keputusannya sendiri, DKPP tetaplah pada sikap tegas dan kokoh bahwa hukum tetaplah hukum yang mengapung dalam samudera etika, dan DKPP bukanlah lembaga yang harus tunduk terhadap kekuasaan. Maka jangan pernah ada niat dan upaya mencoba sedikitpun untuk mencoreng kredibilitas dan integritas sebagai penyelenggara pemilu, karena DKPP tidak ada basa-basi atau sekadar mengikuti trend. Melanggar hukum dan etika sudah pasti di sanksi sesuai tingkat kesalahan yang dapat buktikan dengan fakta, hukum dan keetikaan.
Sedangkan dari aspek kinerja DKPP sebagai penegakan etika penyelenggara pemilu sebagaimana data yang diperoleh penulis melalui update data diunggah dari situs dkpp.go.id dimana DKPP dalam kurun waktu 9 tahun ini telah menangani ribuan pengaduan pelanggaran etik dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada.Â
Sejak Pilkada tahun 2012 yang diikuti oleh 51 daerah, Pilkada tahun 2013 di 124 daerah, Pileg dan Pilpres Tahun 2014, Pilkada Serentak Tahun 2015 diikuiti 269 daerah, Pilkada Serentak tahun 2017 dengan jumlah 101 daerah, Pilkada Serentak Tahun 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah, Pemilu Serentak Tahun 2019 untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pilkada 2020 masa pandemi Covid-19 yang diikuti 270 daerah.Â
Dari sejumlah penyelenggaraan Pemilu/Pilkada sejak berdirinya DKPP telah bersidang hampir mencapai dua ribu kali/perkara dari lebih dari tiga ribu pengaduan dugaan pelanggaran kode etik yang diterima dan diverifikasi formil dan materiil.
Dari data LAKPIN DKPP Tahun 2020 (tabel 3.15 hal. 45) melaporkan dari jumlah perkara yang disidangkan sejak tahun 2012 s.d 2020 setidaknya terdapat 6.831 orang penyelenggara pemilu yang diadukan dengan jumlah 1.756 teregistrasi dan telah diputuskan.Â
Dari putusan DKPP tersebut sebanyak 3.054 orang penyelenggara pemilu mendapat sanksi hukuman dengan varian 650 orang sanksi pemberhentian tetap, 60 orang sanksi pemberhentian dari jabatan, 67 orang sanksi pemberhentian sementara, dan 2.275 sanski tertulis (peringatan biasa dan peringatan keras). Dari data tersebut pemberlakuan penjatuhan sanksi pelanggaran etika hampir setara dengan yang diberi rehabilitasi sebanyak 3.510 orang, dimana data ini belum termaksud kasus etik yang telah diputuskan sejak januari s.d maret tahun 2021 berjalan.
Fenomena Etika Menyimpang Perilaku Pejabat Publik
Sejumlah kasus baik pidana maupun etika perilaku yang tidak pantas selama ini banyak sekali dipertontonkan bukan saja penyelenggara pemilu tetapi sebenarnya banyak menimpa pejabat publik kita yang berada di ranah pengelolaan penyelenggara negara. Bahkan jabatan publik yang memiliki lembaga pengawasan etik hampir setiap hari menerima aduan sejumlah laporan pelanggaran etika dan perilaku pejabat publik.
Apa sebenarnya yang mendorong penyelenggara pemilu dan pejabat publik kita kurang memiliki kesadaran etis dan berperilaku menyimpang dari amanah dan tugas yang diberikan oleh negara kepadanya ? Padahal sejumlah aturan perundangan bahkan pedoman etika dan berperilaku sudah tertulis sebagai panduan dalam menjalankan tupoksi mereka.Â
Cukup banyak lembaga/institusi penegak kode etik dalam lingkungan jabatan-jabatan kenegaraan yang secara internal dibentuk dan disertai dengan pengaturan mengenai tatacara penegakkannya. Hanya jabatan publik kenegaraan seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan Kepala Daerah yang tidak memiliki lembaga penegak etik.
Selebihnya baik lembaga yudikatif, legislatif, eksekutif lainnya dan lembaga profesi memiliki lembaga-lembaga penegakkan etika. Â Misal di bidang peradilan, sudah ada Komisi Yudisial, dan bahkan secara internal di Mahkamah Agung ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Seperti juga di Mahkamah Konstitusi ada mekanisme internal adalah Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Mahkamah Konstitusi.Â
Di lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD ada Mahkamah Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ada mekanisme Badan Kehormatan. Partai Politik juga memiliki mekanisme penegakkan etik yang disebut Mahkamah Partai. Di lingkungan profesi lain pun, lembaga penegak etika itu semua dilembagakan secara internal dimasing-masing organisasi profesi, juga organisasi kemasyarakatan (Ormas). Termaksud di bidang pers dan jurnalistik ada Dewan Pers.Â
Di lingkungan kedokteran, sudah membentuk untuk mengatur kedudukan Majelis Kehormatan Etika missalnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). TNI, Polri, dan ASN masing-masing di lingkungan profesi ini juga mekanisme penegakan etik secara aturan cukup tegas dan berlapis. Di lingkungan Komisi-Komisi Negara non struktural lainnya juga sudah diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya. Bahkan di organisasi advokat seperti PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat.
Namun banyaknya lembaga penegak kode etik tersebut, masih banyak yang bersifat proforma, formalitas atau sekadar mengikuti pemenuhan kebutuhan yang diharuskan undang-undang, bahkan sebagian di antaranya mungkin saja belum pernah menjalankan tugasnya secara efektif menegakkan kode etik dan perilaku penyimpangan profesi. Atau mungkin saja hasil dari proses penegakkan etika itu ditutupi sehingga tidak terpublikasi meluas layaknya mekanisme yang dibangun oleh DKPP. Atau bisa saja penyebab lainnya dimana lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut tidak semuanya memiliki kedudukan yang mandiri atau independen, sehingga putusan dan kinerjanya tidak se-efektif DKPP.
Padahal lembaga-lembaga etik itu bisa belajar dan mengambil contoh dari cara DKPP mengelola kinerjanya yang terbuka, transparan dan mandiri bebas dari intervensi semua pihak. Performa DKPP dalam menegakkan etika pejabat-pejabat penyelenggara pemilu bisa menjadi rule model bagi lembaga etik lainnya.Â
Hal ini disebabkan begitu banyak contoh pejabat publik tidak mengerti bagaimana harus bertingkah laku yang layak dalam posisinya sebagai pejabat publik, dan banyak dari mereka sebenarnya tidak siap dan tidak kompoten menjadi pejabat publik. Seharusnya jabatan tersebut ditolaknya kalau tidak mampu mengemban amanah didalamnya. Karena ketika dikategorikan sebagai pejabat publik maka dituntut untuk memiliki kesadaran etis bahwa dia sedang mengemban sebuah amanat publik yang amat mulia, dan perilakunya pun harus jelas untuk hidup sesuai dengan peranannya dan pedoman yang menuntunnya.
Standar Umum Etika Pejabat Publik
Ketika menjadi pejabat publik maka ada pedoman standar yang mengikatnya baik tertuang dalam pedoman lembaga penegak etik, maupun yang berlaku umum dalam nilai sosial yang hidup di masyarakat itu sendiri. Nilai dalam masyarakat ini biasanya dari berbagai sumber nilai agama, adat dan perilaku kolektif lainnya. Nilai-nilai itu biasanya terbagi dua bagian yakni baik dan buruk. Sehingga menjadi tafsir sosial kolektif yang terus hidup dan berkembang tidak di lekang jaman yang selalu mengikat menyertai individu berperilaku.
Kenapa seperti itu ? Karena pejabat publik dituntut menjadi patron kolektif yang mesti menjadi teladan bagi semua, dan mampu memelihara kepercayaan publik (public trust) agar jabatan yang di pikul dapat berjalan efektif. Termaksud efektif dan efisien mengelola uang rakyat sebagai dana publik. Ini juga bagian dari konsekuensi demokrasi itu sendiri.
Maka kalau dirangkum dari semua pedoman-pedoman standar etika perilaku pejabat publik di lembaga negara yang memiliki lembaga penegakkan etik secara umum merangkum standar etika dan pedoman berperilaku yang mencakupi hal-hal sebagai berikut;
- Patuh pada ajaran agama.
- Patuh pada sumpah/janji.
- Patuh pada peraturan perundang-undangan.
- Perilaku sebagai patron bawahan dan masyarakat.
- Selalu bersikap atau berkata jujur.
- Berwatak sebagai pelayan dan penerang masyarakat.
- Bersikap sebagai integrator sosial.
Oleh sebab itu, pejabat publik harus bebas dari penyimpangan dan penyalahgunaan jabatan agar menjadi teladan baik kepada bawahan maupun masyarakat. Sehingga pelayanan publik terutama penguatan pranata-pranata sosial dapat dibentuk dan diperkuat dengan baik karena berangkat dari kepercayaan publik yang baik dari pejabat dan sistem kelembagaan yang bekerja. Dalam konteks inilah integritas penyelenggara negara menjadi sangat penting dan tetap harus dijaga.
Fenomena Menyimpang Etika Penyelenggara Pemilu
Di masyarakat kita yang paling umum terus saja menjadi perbincangan bahkan sudah menjadi pergunjingan publik masalah etika dan prilaku pejabat publik soal-soal menyangkut konflik kepentingan. Terlalu banyak contoh pejabat publik kita mencampur adukan tugas pelayanan masyarakat dengan kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya.
Sikap dan prilaku tidak beretika diatas dalam menjalankan tugas penyelenggaraan negara baik tugas pokok maupun keteladanan menjadi tergerus mempengaruhi muruah lembaga dan jabatan yang diemban. Padahal pedoman kerja yang profesional, akuntabel dan transparan sudah tertulis dan terukur guna mencegah penyimpangan disemua lembaga penyelenggara negara kita.
Memang menjadi pemimpin atau sebutan pimpinan sebagai atasan dalam sebuah instansi/lembaga dalam penyelenggara negara bukanlah hal yang mudah. Namun, karena jabatan publik yang diemban dapat membawa keuntungan, terutama keuntungan pribadi dan golongan, maka banyak orang yang berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Banyak yang bertugas dan bertindak diluar kompetensi tupoksinya yang tidak mempertimbangkan dari efek yang ditimbulkan yang menyuburkan prilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.
Banyak pengemban jabatan negara maupun jabatan publik lainnya tidak menyadari bahwa prilaku yang bertindak menyimpang akan berdampak pada konflik kepentingan yang akan selalu menjadi faktor gangguan (noise) yang menjadi publik opini. Kemudian menjadi distrust publik terhadap lembaga-lembaga negara saat ini. Fungsi kepemimpinan menjadi perdagangan menjual pengaruh atas nama jabatan atau lazim disebut trading in Influence.
 Sehingga bagi DKPP sebagai lembaga penegakan etika khusus penyelenggara pemilu selalu menanamkan kesadaran etis dan prilaku yang terpuji sebagai standar etik pejabat publik, sebagai pejabat yang menjabat sebuah amanah publik yang amat mulia, sebagai penyelenggara untuk mengawal tumbuh berkembangnya demokratisasi. Banyak yang tidak menyadari bahwa ketika telah diangkat menjadi pejabat penyelenggara pemilu maka telah ada standar hidup secara publik yang harus sesuai dengan peranannya untuk tidak mengambil peran tugas wilayah pemerintahan umum, aparat hukum, peradilan, tokoh masyarakat maupun masyarakat sipil lainnya.
Penyelenggara pemilu harus menampakkan kesadaran etis dan prilaku yang bijaksana ketika sudah menjadi bagian pejabat publik untuk bersikap dan mempertimbangkan dengan mengenyampingkan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat pribadi atau rebutan jabatan.Â
Karena secara spesifik penyelenggara pemilu telah memiliki pedoman sebagai standar etika dan berprilaku bagaimana harus bertingkah laku yang layak dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban dalam menyelenggarakan Pemilu/Pilkada maupun tidak sedang dalam menyelenggarakan Pemilu/Pilkada yang kapasitasnya tetap sebagai pejabat penyelenggara pemilu untuk selalu setia merawat dan menjaga integritas, kredibiltas dan profesionalitas. Pedoman itu adalah Peraturan DKPP RI No. 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilu.
Namun dalam pelaksanaan putusan DKPP masih saja ada fenomena menyimpang atas keputusan penjatuhan sanksi bahkan sampai keranah solidaritas lembaga untuk saling mendukung upaya ketidakpatuhan terhadap putusan DKPP. Padahal sesungguhnya kepatuhan terhadap putusan DKPP tidak bisa ditawar dan siapapun harus mencerminkan bentuk ketertundukkan warga negara terhadap negara (obidience by law).
Jadi fenomena menyimpang terhadap pembangkangan putusan DKPP adalah tindakan yang melampaui batas etika pejabat publik. Putusan DKPP itu memiliki sifat final and binding sebagaimana Pasal 458 ayat (13) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya, terhadap putusan DKPP tidak terdapat akses untuk melakukan upaya hukum dan sejak putusan diucapkan seketika itu berkekuatan hukum tetap bagi penyelenggara Pemilu.Â
Sifat final putusan DKPP dimaksudkan agar keadilan konstitutif suatu putusan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh warga negara dan seketika itu juga memiliki kepastian hukum. Sedangkan binding (mengikat) artinya putusan DKPP berlaku mengikat bukan hanya terhadap para pihak yang bersengketa, tetapi juga warga negara keseluruhannya, termasuk seluruh institusi negara tidak terkecuali Presiden.
Secara normatif-yuridis, putusan DKPP bersifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Artinya, sejak memiliki kekuatan hukum tetap, tidak ada upaya hukum lanjutan berupa banding dan kasasi, termasuk juga upaya untuk mengoreksi, putusannya merupakan tingkat pertama sekaligus terakhir. Konsekuensinya, putusan DKPP tidak boleh di anulir atau bahkan diabaikan apalagi dilakukan dengan perlawanan pribadi atas jabatan dan kelompok untuk membangkitkan solidaritas yang menyimpang dari etika perilaku sebagai pejabat publik.
Demikian catatan singkat penulis, semoga bermanfaat.
Bumi Anoa, 31 Maret 2021
*)Catatan Akhir Masa Tugas TPD DKPP Unsur Tomas Prov. Sultra Periode 2019-20211
**)Penulis; Praktisi Hukum/TPD DKPP RI Unsur Tomas Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2019-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H