Penyelenggara pemilu harus menampakkan kesadaran etis dan prilaku yang bijaksana ketika sudah menjadi bagian pejabat publik untuk bersikap dan mempertimbangkan dengan mengenyampingkan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat pribadi atau rebutan jabatan.Â
Karena secara spesifik penyelenggara pemilu telah memiliki pedoman sebagai standar etika dan berprilaku bagaimana harus bertingkah laku yang layak dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban dalam menyelenggarakan Pemilu/Pilkada maupun tidak sedang dalam menyelenggarakan Pemilu/Pilkada yang kapasitasnya tetap sebagai pejabat penyelenggara pemilu untuk selalu setia merawat dan menjaga integritas, kredibiltas dan profesionalitas. Pedoman itu adalah Peraturan DKPP RI No. 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Prilaku Penyelenggara Pemilu.
Namun dalam pelaksanaan putusan DKPP masih saja ada fenomena menyimpang atas keputusan penjatuhan sanksi bahkan sampai keranah solidaritas lembaga untuk saling mendukung upaya ketidakpatuhan terhadap putusan DKPP. Padahal sesungguhnya kepatuhan terhadap putusan DKPP tidak bisa ditawar dan siapapun harus mencerminkan bentuk ketertundukkan warga negara terhadap negara (obidience by law).
Jadi fenomena menyimpang terhadap pembangkangan putusan DKPP adalah tindakan yang melampaui batas etika pejabat publik. Putusan DKPP itu memiliki sifat final and binding sebagaimana Pasal 458 ayat (13) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya, terhadap putusan DKPP tidak terdapat akses untuk melakukan upaya hukum dan sejak putusan diucapkan seketika itu berkekuatan hukum tetap bagi penyelenggara Pemilu.Â
Sifat final putusan DKPP dimaksudkan agar keadilan konstitutif suatu putusan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh warga negara dan seketika itu juga memiliki kepastian hukum. Sedangkan binding (mengikat) artinya putusan DKPP berlaku mengikat bukan hanya terhadap para pihak yang bersengketa, tetapi juga warga negara keseluruhannya, termasuk seluruh institusi negara tidak terkecuali Presiden.
Secara normatif-yuridis, putusan DKPP bersifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Artinya, sejak memiliki kekuatan hukum tetap, tidak ada upaya hukum lanjutan berupa banding dan kasasi, termasuk juga upaya untuk mengoreksi, putusannya merupakan tingkat pertama sekaligus terakhir. Konsekuensinya, putusan DKPP tidak boleh di anulir atau bahkan diabaikan apalagi dilakukan dengan perlawanan pribadi atas jabatan dan kelompok untuk membangkitkan solidaritas yang menyimpang dari etika perilaku sebagai pejabat publik.
Demikian catatan singkat penulis, semoga bermanfaat.
Bumi Anoa, 31 Maret 2021
*)Catatan Akhir Masa Tugas TPD DKPP Unsur Tomas Prov. Sultra Periode 2019-20211
**)Penulis; Praktisi Hukum/TPD DKPP RI Unsur Tomas Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2019-2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H