Fenomena Etika Menyimpang Perilaku Pejabat Publik
Sejumlah kasus baik pidana maupun etika perilaku yang tidak pantas selama ini banyak sekali dipertontonkan bukan saja penyelenggara pemilu tetapi sebenarnya banyak menimpa pejabat publik kita yang berada di ranah pengelolaan penyelenggara negara. Bahkan jabatan publik yang memiliki lembaga pengawasan etik hampir setiap hari menerima aduan sejumlah laporan pelanggaran etika dan perilaku pejabat publik.
Apa sebenarnya yang mendorong penyelenggara pemilu dan pejabat publik kita kurang memiliki kesadaran etis dan berperilaku menyimpang dari amanah dan tugas yang diberikan oleh negara kepadanya ? Padahal sejumlah aturan perundangan bahkan pedoman etika dan berperilaku sudah tertulis sebagai panduan dalam menjalankan tupoksi mereka.Â
Cukup banyak lembaga/institusi penegak kode etik dalam lingkungan jabatan-jabatan kenegaraan yang secara internal dibentuk dan disertai dengan pengaturan mengenai tatacara penegakkannya. Hanya jabatan publik kenegaraan seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan Kepala Daerah yang tidak memiliki lembaga penegak etik.
Selebihnya baik lembaga yudikatif, legislatif, eksekutif lainnya dan lembaga profesi memiliki lembaga-lembaga penegakkan etika. Â Misal di bidang peradilan, sudah ada Komisi Yudisial, dan bahkan secara internal di Mahkamah Agung ada Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Seperti juga di Mahkamah Konstitusi ada mekanisme internal adalah Majelis Kehormatan Hakim (MKH) Mahkamah Konstitusi.Â
Di lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD ada Mahkamah Kehormatan DPR dan Badan Kehormatan DPD serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ada mekanisme Badan Kehormatan. Partai Politik juga memiliki mekanisme penegakkan etik yang disebut Mahkamah Partai. Di lingkungan profesi lain pun, lembaga penegak etika itu semua dilembagakan secara internal dimasing-masing organisasi profesi, juga organisasi kemasyarakatan (Ormas). Termaksud di bidang pers dan jurnalistik ada Dewan Pers.Â
Di lingkungan kedokteran, sudah membentuk untuk mengatur kedudukan Majelis Kehormatan Etika missalnya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). TNI, Polri, dan ASN masing-masing di lingkungan profesi ini juga mekanisme penegakan etik secara aturan cukup tegas dan berlapis. Di lingkungan Komisi-Komisi Negara non struktural lainnya juga sudah diatur adanya Kode Etika Komisioner dan mekanisme penegakannya. Bahkan di organisasi advokat seperti PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) adanya Kode Etika dan Majelis Kehormatan Advokat.
Namun banyaknya lembaga penegak kode etik tersebut, masih banyak yang bersifat proforma, formalitas atau sekadar mengikuti pemenuhan kebutuhan yang diharuskan undang-undang, bahkan sebagian di antaranya mungkin saja belum pernah menjalankan tugasnya secara efektif menegakkan kode etik dan perilaku penyimpangan profesi. Atau mungkin saja hasil dari proses penegakkan etika itu ditutupi sehingga tidak terpublikasi meluas layaknya mekanisme yang dibangun oleh DKPP. Atau bisa saja penyebab lainnya dimana lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut tidak semuanya memiliki kedudukan yang mandiri atau independen, sehingga putusan dan kinerjanya tidak se-efektif DKPP.
Padahal lembaga-lembaga etik itu bisa belajar dan mengambil contoh dari cara DKPP mengelola kinerjanya yang terbuka, transparan dan mandiri bebas dari intervensi semua pihak. Performa DKPP dalam menegakkan etika pejabat-pejabat penyelenggara pemilu bisa menjadi rule model bagi lembaga etik lainnya.Â
Hal ini disebabkan begitu banyak contoh pejabat publik tidak mengerti bagaimana harus bertingkah laku yang layak dalam posisinya sebagai pejabat publik, dan banyak dari mereka sebenarnya tidak siap dan tidak kompoten menjadi pejabat publik. Seharusnya jabatan tersebut ditolaknya kalau tidak mampu mengemban amanah didalamnya. Karena ketika dikategorikan sebagai pejabat publik maka dituntut untuk memiliki kesadaran etis bahwa dia sedang mengemban sebuah amanat publik yang amat mulia, dan perilakunya pun harus jelas untuk hidup sesuai dengan peranannya dan pedoman yang menuntunnya.
Standar Umum Etika Pejabat Publik