Tentu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja dengan banyak pengalaman dan pengetahuan diperolah baik dari segenap pimpinan DKPP maupun dalam proses menangani sidang perkara di daerah. Masih ada yang perlu di koreksi dan banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk ditulis oleh kita dan mereka-mereka yang pernah merekam cerita dari tapak jejak perkara pelanggaran kode etik para penyelenggara pemilu. Olehnya itu, tulisan ini sebagai persembahan diakhir masa tugas penulis dalam bait-bait ide dan cerita melihat kemodernan peradilan etik DKPP ditengah banyaknya fenomena etika menyimpang pejabat publik lainnya yang sebenarnya juga memiliki lembaga etik setara dengan DKPP.
Sebuah Catatan; Â "Jangan Pernah Coba Mencoreng Kredibilitas dan Integritas"
Selama menjadi TPD DKPP, lembaga penegak etik penyelenggara pemilu ini sangat dominan dengan kekhasannya dalam meneguhkan kredibilitas dan integritas yang dijaga ketat oleh DKPP. Kekhasan DKPP berkait erat dalam meneguhkan integritas, dan dengan integritas itulah yang selama ini DKPP membuat publik sungguh percaya dengan keputusan-keputusannya.
Dari semua catatan yang ditorehkan DKPP ternyata tidak hanya monoton ajudikasi dalam persidangan, tetapi dengan inovasi, edukasi dan pemanfaatan teknologi informasi diluar sidang yang membangun moral penyelenggara pemilu agar menjadi seseorang penyelenggara yang harus kredibel dan berintegritas.
DKPP membangun moral penyelenggara pemilu sebagai pejabat publik yang harus diyakini publik untuk harus berbuat benar, harus bermain dalam aturan, dan harus berkomitmen membangun dan merawat demokrasi. DKPP terus konsisten berupaya menciptakan pemilu dan demokrasi yang berkeadaban tidak saja dalam ucapan dan keputusan-keputusannya tetapi dengan tindakan-tindakan yang menjaga keadaban, mengajarkan perilaku terbaik yang dibingkai nilai-nilai etis yang adiluhung dan bersifat universal.Â
Sehingga ketika Presiden sekalipun menganulir keputusannya sendiri, DKPP tetaplah pada sikap tegas dan kokoh bahwa hukum tetaplah hukum yang mengapung dalam samudera etika, dan DKPP bukanlah lembaga yang harus tunduk terhadap kekuasaan. Maka jangan pernah ada niat dan upaya mencoba sedikitpun untuk mencoreng kredibilitas dan integritas sebagai penyelenggara pemilu, karena DKPP tidak ada basa-basi atau sekadar mengikuti trend. Melanggar hukum dan etika sudah pasti di sanksi sesuai tingkat kesalahan yang dapat buktikan dengan fakta, hukum dan keetikaan.
Sedangkan dari aspek kinerja DKPP sebagai penegakan etika penyelenggara pemilu sebagaimana data yang diperoleh penulis melalui update data diunggah dari situs dkpp.go.id dimana DKPP dalam kurun waktu 9 tahun ini telah menangani ribuan pengaduan pelanggaran etik dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada.Â
Sejak Pilkada tahun 2012 yang diikuti oleh 51 daerah, Pilkada tahun 2013 di 124 daerah, Pileg dan Pilpres Tahun 2014, Pilkada Serentak Tahun 2015 diikuiti 269 daerah, Pilkada Serentak tahun 2017 dengan jumlah 101 daerah, Pilkada Serentak Tahun 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah, Pemilu Serentak Tahun 2019 untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pilkada 2020 masa pandemi Covid-19 yang diikuti 270 daerah.Â
Dari sejumlah penyelenggaraan Pemilu/Pilkada sejak berdirinya DKPP telah bersidang hampir mencapai dua ribu kali/perkara dari lebih dari tiga ribu pengaduan dugaan pelanggaran kode etik yang diterima dan diverifikasi formil dan materiil.
Dari data LAKPIN DKPP Tahun 2020 (tabel 3.15 hal. 45) melaporkan dari jumlah perkara yang disidangkan sejak tahun 2012 s.d 2020 setidaknya terdapat 6.831 orang penyelenggara pemilu yang diadukan dengan jumlah 1.756 teregistrasi dan telah diputuskan.Â
Dari putusan DKPP tersebut sebanyak 3.054 orang penyelenggara pemilu mendapat sanksi hukuman dengan varian 650 orang sanksi pemberhentian tetap, 60 orang sanksi pemberhentian dari jabatan, 67 orang sanksi pemberhentian sementara, dan 2.275 sanski tertulis (peringatan biasa dan peringatan keras). Dari data tersebut pemberlakuan penjatuhan sanksi pelanggaran etika hampir setara dengan yang diberi rehabilitasi sebanyak 3.510 orang, dimana data ini belum termaksud kasus etik yang telah diputuskan sejak januari s.d maret tahun 2021 berjalan.