Mohon tunggu...
Tatang  Hidayat
Tatang Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Student Rihlah Indonesia

Tatang Hidayat, bergiat di Student Rihlah Indonesia. Ia mulai menulis sejak SD, ketika masa SMK ia diamanahi menjadi pimpinan redaksi buletin yang ada di sekolahnya. Sejak masuk kuliah, ia mulai serius mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisannya di muat diberbagai jurnal terakreditasi dan terindeks internasional, buku, media cetak maupun online. Ia telah menerbitkan buku solo, buku antologi dan bertindak sebagai editor buku dan Handling Editor Islamic Research: The International Journal of Islamic Civilization Studies. Selain menulis, ia aktif melakukan jelajah heritage ke daerah-daerah di Indonesia, saat ini ia telah mengunjungi sekurang-kurangnya 120 kab/kota di Indonesia. Di sisi lain, ia pun telah melakukan jelajah heritage ke Singapura, Malaysia dan Thailand. Penulis bisa di hubungi melalui E-mail tatangmushabhidayat31@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kyai dalam Kenangan: Catatan Kebersamaan dengan Drs KH Ahmad Rifa'i

17 Juni 2020   14:35 Diperbarui: 17 Juni 2020   14:30 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iring-iringan mobil jenazah dan para pelayat segera menuju tempat peristirahatan terakhir Abah yakni di Pemakaman Kampung Padi Cisitu. Saat itu saya berjalan kaki bersama beberapa santri alumni PPM Miftahul Khoir, ada Kang Choerudin, Kang Furqon, dan Kang Rizal. Tetibatnya di tempat pemakaman, karena saya jalan kaki, ternyata jenazah Abah sudah ada di liang lahat, segera saya merengsek masuk ke depan untuk melihat langsung pemakaman Abah, begitu mudahnya dan tidak ada kesulitan ketika prosesi pemakaman Abah, setelah papan pintu ditutup satu persatu, mulai tanah diturunkan perlahan-lahan hingga semuanya tertutup.

Dalam prosesi pemakaman, banyak juga para tokoh yang hadir ikut mengiringi diantaranya KH. Hafidzin (Pengasuh PPM Miftahul Khoir Bandung), Dewan Asatidz PP Al Falah Dago, Drs. KH. Muchtar Adam (Pimpinan PP Babussalam Bandung), Drs. KH. Anwar Nuryamin (Ketua MUI Kelurahan Dago Bandung), Dr. Sodiq Mujahid, M. Sc. (Anggota DPR RI Periode 2019-2024), Prof. Dr. Ganjar Kurnia (Rektor UNPAD Periode 2007 -- 2015), Camat Coblong, Lurah Dago, tokoh-tokoh dari berbagai ormas Islam dan beberapa tokoh masyarakat lainnnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Adapun beberapa tokoh yang belum sempat takziyah, tamu terus berdatangan hingga ba'da Isya, salah satunya KH. Athon Sulthoniyyah (Pimpinan PP Manarul Huda Bandung) takziyah ke keluarga Abah ba'da Maghrib. Sementara itu, banyak juga karangan bunga yang mewakili beberapa instansi berjejer di depan rumah Abah. Seandainya bukan dalam situasi pandemic covid 19, tentu akan lebih banyak lagi tokoh ulama, tokoh masyarakat, dan jamaah lainnya yang ikut takziyah dan mengantarakan jenazah Abah ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kesaksian Drs. KH. Muchtar Adam

Sebelum pulang, Drs. KH. Muchtar Adam diminta oleh pihak keluarga untuk menyampaikan sedikit pesan pesan dan nasihat kepada pelayat. Adapun yang pertama disampaikan yakni terkait masalah hutang piutang, jika Abah memiliki hutang silahkan bisa disampaikan kepada putra putri beliau. Namun seingat saya, justru Abah itu orangnya sering ngasih uang kepada siapapun, saya kira Abah pasti tidak punya hutang. Kemudian sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat hadis Nabi SAW, jika ada orang yang meninggal maka sampaikanlah kebaikan-kebaikannya.

Menurut kesaksian Drs. KH. Muchtar Adam, Abah itu merupakan seorang cendekiawan dan ulama, dan Drs. KH. Muchtar Adam menjadi saksi utama bahwa Abah merupakan sosok ulama. Setelah selesai doa, saya tidak segera pulang, tetapi saya duduk di dekat pusara istri pertama Abah yang bernama Ibu Hj. Siti Komariah yang wafat terlebih dahulu, saya doakan beliau, teringat beberapa tahun ke belakang kenangan saya bersama istri pertama Abah, istri pertama Abah kelahiran limbangan Garut, menurut saya istri pertama Abah merupakan ahli Al-Quran juga, kemana mana ibu selalu membawa Al-Quran, dan ibu sering menghadiri pengajian juga.

Sore itu sebagaimana biasa hari Sabtu, saya berangkat ke rumah Abah untuk talaqqi, namun sore itu hujan lebat membasahi langit Dago, tetapi saya tetap berangkat khawatir Abah sudah menunggu, namun ketika sudah sampai di lokasi Abahnya sedang istirahat. Kemudian saat itu saya di tahan dulu sama ibu jangan dulu pulang, ternyata ibu memberikan banyak makanan yang ada di meja kepada saya, ini merupakan salah satu momen kebaikan ibu diantara banyaknya kebaikan yang ibu selalu berikan kepada santri santrinya.

Bahkan sikap yang sangat perlu ditiru oleh perempuan lainnya dari sosok istri pertama abah ini merupakan sosok yang romantis dan cinta tulus kepada Abah, sebelum ibu wafat ibu berpesan jika nanti ibu wafat, maka Abah harus menikah lagi supaya ada yang mengurus bahkan orangnya sudah ibu tunjuk, dan istri Abah yang kedua yang sekarang ibu Hj. Neneng Rifai merupakan hasil amanat dari istri pertama Abah. Masya Allah inilah yang dinamakan cinta di atas cinta, ibu sangat tulus dan ikhlas mencintai Abah, sehingga karena cinta yang dilandasi oleh yang Maha Cinta tersebut, ibu tidak sakit hati jika Abah menikah lagi setelah kepergiannya.

Setelah dari ibu, saya pun bersimpuh dekat pusara Abah, sejenak saya usap pusaranya dan memanjatkan doa doa terbaik untuk Abah, insya Allah saya menjadi saksi bahwa Abah merupakan seorang ulama dan ahlul Al-Quran, setiap hari lisannya tidak lepas dari lantunan ayat suci Al-Quran dan dzikir, setiap ucapan dan sikapnya selalu berhati-hati supaya tidak ada yang sia-sia serta keberpihakan Abah terhadap dakwah umat tidak dipungkiri lagi, apalagi cita cita Abah ingin terwujudnya persatuan umat Islam dan lanjutnya kehidupan Islam menjadi bekal untuk generasi selanjutnya melanjutkan perjuangan dan modal kelak bagi generasi di masa depan untuk memimpin peradaban.

Sunyi Dalam Kesendirian

Setelah itu saya kembali pulang, dan melaksanakan shalat Ashar berjamaah di masjid Al-Urwatul Wutsqo, nampak ada suanan haru dan hening, seolah masjid ini kehilangan sosok ayahnya, apalagi ketika waktu Maghrib dan Isya tiba. Seolah hari itu sangat berat saya lalui, imam shalat Maghrib yang biasanya dipimpin Abah saat itu saya tidak lagi mendengar suara fasihnya bacaan Al-Quran Abah. Ba'da Maghrib saya tidak langsung pulang tetapi duduk hingga menunggu waktu Isya, ya saat itu tepat malam Jum'at, malam dimana biasanya Abah memimpin jamaah untuk membaca Al-Quran, tahlil, istighfar, shalawat dan dzikir yang lainnya, namun hari itu masjid sepi dan lengang, untuk menghibur hati saya, saya baca Al-Quran seorang diri untuk mengobati kesendirian diri ini yang ditinggalkan oleh gurunya, tidak lupa saya panjatkan doa tahlil untuk Abah. Tidak terasa adzan Isya berkumandang, shalat pun segera didirikan. Ba'da shalat saya tidak langsung pulang, saya lanjutkan dengan shalat sunnah lainnya sembari menunggu jamaah lain pulang dan saya keluar terakhir bersama mas ubed sebagai marbot masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun