Wasiat Terakhir
Selanjutnya ketika Ramadhan 1441 H mau tiba, tepatnya 1 April 2020 saya berangkat lagi ke kota Bandung, nampak suasana Bandung saat itu beda dengan Bandung yang selama ini saya kenal. Jalan-jalan protokol di Bandung saat itu yang biasanya macet menjadi sepi, beberapa toko yang biasanya ramai saat itu mendadak tutup. Setelah Szuhur saya masuk ke rumah Abah, nampak Abah sedang terbaring kaku dan ditemani oleh Pak Lukman (anak pertama Abah), ada juga ibu. Saat itu saya tidak bisa mencium tangan Abah untuk mengantisipasi dan melaksanakan protokol kesehatan. Saat itu kondisi Abah sedikit membaik, Abah sedikit mulai bisa bicara meskipun masih berat. Ketika itu, saya pun berbincang dengan pak Lukman, karena Pak Lukman menanyakan sesuatu terutama berkaitan dengan sejarah, namun di tengah perbincangan saya bercerita tentang perkembangan penelitian sejarah kesultanan di Indonesia, pak Lukman bertanya kepada Abah, siapa pelanjut ketua DKM selanjutnya. Setelah itu baru Abah berbicara, yaa Allah dengan suara yang berat Abah memberanikan diri untuk berbicara, terutama yang membuat saya terharu saat itu Abah berbicara sambil menangis, nggak tau apa yang menyebabkan Abah menangis, yang jelas Abah saat itu menyampaikan beberapa pesan namun mohon maaf pesannya belum bisa saya publikasikan. Dan kesininya baru terbuka, ternyata bincang bincang Abah saat itu sambil menangis merupakan isyarat pesan perpisahan terakhir Abah, karena setelah itu saya belum sempat bertemu dan ngobrol lagi dengan Abah.
Setelah segala tugas dan urusan selesai, saya pun mendoakan Abah dan pamit pulang, karena saya harus segera kembali pulang ke rumah khawatir Kota Bandung menerapkan lock down. Selama bulan ramadhan saya terus menanyakan kabar tentang Abah kepada ibu, begitupun setelah bulan syawal saya masih bisa komunikasi dengan dengan ibu menanyakan kabar tentang Abah. Rabu 10 Juni 2020 saya sempat menanyakan kabar Abah kepada ibu via whatsapp dan saya sudah berniat pada hari Jumat 12 Juni 2020 untuk pergi ke Bandung, karena situasi Bandung saat itu udah agak lengang.
Detik -- Detik Terakhir Sang Pelita Kembali ke Rahmatullah
Kamis, 11 Juni 2020 pagi itu saya mau berangkat ke daerah Ciwidey, namun entah mengapa pagi harinya mata saya merah tanpa sebab, tetapi saya cuek aja. Kemudian saya pun berangkat ke daerah Ciwidey karena ada suatu hal yang mesti saya pelajari di sana, ketika pukul 11.00 WIB saya buka whatsapp dari Ust Haqi, beliau menanyakan keberadaan saya apakah sedang di Cisitu, dan beliau menyampaikan bahwa Abah sedang repot, sontak saja saya seolah tidak percaya dengan informasi yang didapatkan, kemudian saya sampaikan info tersebut kepada grup alumni PPM Miftahul Khoir dan minta doanya untuk kesembuhan Abah. Ketika itu saya sudah berniat akan menjenguk Abah besok Shubuh sekalian mengajak kedua orang tua.
Namun ketika baru saja saya melaksanakan Shalat dzuhur di salah satu masjid yang ada di Ciwidey, baru saja saya membuka whatsapp begitu banyak pesan masuk baik japri maupun di grup dan telpon yang tidak keangkat, ketika saya buka pesan tersebut, Yaa Allah saya terkejut seolah dada sangat terhentak begitu sesak, seolah ada palu godam yang menghantam tepat di ulu hati, sesuatu yang hangat dan dingin mencuat dalam perut, membuat detak jantung berpacu lebih cepat serta membuat rasa sedih meluap. Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji'uun ternyata Sang Pelita itu telah kembali ke rahmatullah pukul 11.45 WIB.
Sontak saja tanpa berpikir panjang dengan perasaan tidak karuan, saya segera berangkat ke kota Bandung. Saya segera mengejar untuk ikut berbakti untuk terakhir kalinya kepada beliau, baik ikut menyalatkan dan mengantarkan ke tempat peristirahatan yang terakhir. Ketika sedang di perjalanan, saya sempatkan untuk membuka whatsapp, ternyata beliau sudah di shalatkan, dan saya bertanya kepada salah seorang yang ada di sana ternyata 10 menit lagi beliau akan segera dimakamkan, dengan tanpa pikir panjang lagi saya segera menarik gas motor sekuat kuatnya khawatir saya tidak kebagian dan tidak bisa menshalatkan Abah.
Khidmat Terakhir
Ketika tiba di lokasi, saya segera ke masjid dan sudah banyak orang berkerumun di masjid, kemudian saya bertemu Pak Lukman putra pertama Abah, Dr. Wildan Hanif, M.Sr. (Putra Abah), KH. Hafidzin, KH. Anwar Nuryamin, H. Iwan dan beberapa sanak keluarga Abah lainnya. Tanpa pikir panjang saya segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat jenazah, ketika saya baru selesai wudhu, benar saja untung saya tidak telat sepersekian detik ternyata shalat jenazah terakhir bagi yang belum segera didirikan, dan saat itu yang menshalatkan ada 5 orang yang dibuat 3 shaf, dan Drs. KH. Muchtar Adam (Pimpinan Pondok Pesantren Babussalam Bandung) bertindak sebagai imam.
Baru saja takbir pertama dikumandangkan, tidak terasa bulir bulir bening akan jatuh dari kelopak mata, tetapi saya tahan sekuat tenaga, bibir saya bergetar ketika membacakan surat al-Fatihah, begitu pun ketika takbir kedua ketika membaca shalawat untuk kanjeng Nabi, hingga takbir ketiga dan keempat seolah saya belum bisa menerima kenyataan bahwa saya sedang menyalatkan abah. Setelah selesai salam, saya pun mendoakan Abah dan ternyata itu adalah shalat jenazah yang terakhir, karena setelah itu jenazah segera diangkat. Saat itu saya pun sempat ikut menggotong jenazah Abah dari masjid hingga ke mobil ambulance di dekat jalan. Saya sangat bahagia bisa diberikan kesempatan untuk terakhir kalinya untuk berbakti kepada Abah.
Namun di sisi lain, saya pun sangat menyesal, ya penyesalan terbesar untuk saya adalah karena saya berada jauh dari Abah, karena saya begitu tidak berdaya terpisah puluhan kilometer dari rumah Abah yang sudah menjadi sosok guru, ayah, dan sahabat selama ini di Bandung. Sungguh saya sangat menyesal karena tidak bisa menemani saat terakhir beliau menghembuskan nafas terakhir, untuk itulah saya menangis.