Mohon tunggu...
Hidayat Syahputra
Hidayat Syahputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Merajut

"Sekali Berati Sudah Itu Mati". "Tindakan Adalah Pelaksanaan Kata-kata". Kata-kata yang keluar dari rahim kandung dua tokoh besar bangsa Indonesia Yaitu Chairil Anwar dan Ws. Rendra ini sangat mengilhami diri saya, bahwa hidup yang hanya sekali ini harus memberi arti/bermanfaat, dan tindakan diri haruslah sesuai dengan kata-kata yang diucapkan dan atau kata-kata harus seusai dengan tindakan yang dilaksanakan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Soekarno-Hatta, Sahabat dan Musuh Politik

14 November 2018   09:17 Diperbarui: 14 November 2018   12:44 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Dwitunggal bangsa Indonesia, Dynamic-Duo, Soekarno -Hatta. Merka adalah dua individu yang seolah menjadi satu - senyawa. Dua sahabat yang bercita-cita dan berjuang untuk Indonesia yang merdeka  Berdaulat, Adil dan Makmur. 

Banyak kisah romantisme persahabatan diantara mereka. Berselisih paham karna berbeda cara pandang, arah politik  sampai berbeda cara memperlakukan wanita. Namun Soekarno-Hatta adalah Soulmate, laksana Mobil dan Ban atau Ban dengan Mobil saling melengkapi saling membutuhkan. Apalah arti mobil tanpa ban, dan sebaliknya apalah arti ban tanpa mobil. 

Hubungan persahabatan  Soekarno dan Hatta sungguh berwarna. Layaknya dua sejoli yang tak terpisahkan, seandainya salah satu dari mereka adalah perempuan mungkin mereka akan digosipkan berpacaran. Hubungan mereka terkadang mesra, namun sering juga diwarnai amarah. Bisa dalam bernuansa politis, namun juga menyangkut terkadang soal kehidupan pribadi dua sahabat ini.

Memang suadah dari mula dwitunggal ini meiliki banyak perbedaan. Baik dari kultul sosial Soekarno asli keturunan jawa yang sangat kental dengan tardisi jawanya, sedangkan Hatta asli Minangkabau yang juga kental sekali dengan tradisi minangnya, dalam hal strategi gerakan, jika Soekarno fokus pada gerakan penggalangan massa sedangkan Hatta elite yang terdidik mengutamakan pendidikan segelintir elite.

Selain itu perbedaan dari sisi pribadi. mereka berdua memiliki perbedaan yang sangat menonjol, Soekarno yang dikenal luwes dan mudah akrab dengan perempuan, namun Hatta adalah pribadi yang sebaliknya, Hatta dikenal kaku dan bisa merah mukanya bila berhadapan dengan wanita, apalagi yang manis dan sebaya. 

Selain tekadnya ingain menikah setelah Indonesia merdeka, mungkin hal ini yang mungkin menyebabkan Hatta baru menikah diusia 43 tahun pada bulan  November 1945 dengan perempuan cantik bernama Rachmi Rahim alias Yuke yang berselisih 24 tahun dengan Bung Hatta, Yuke adalah satu-satunya perempuan dalam kehidupan Bung Hatta berbeda dengan sahabatnya Bung karno.

Konflik Persahabatan

Pemulaan konflik besar pertama antara dwitunggal terjadi saat Soekarno dan tiga rekannya, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja ditangkap Belanda. Hal ini tertuang pada otobiografi Hatta berjudul 'Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang'

Setelah penangkapan itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya bubar. Petinggi partai membentuk partai baru bernama Partai Indonesia (Partindo).. Hatta menyesalkan hal itu terjadi dan tidak setuju pembentukan Partai Indonesia akhirnya membentuk PNI-Baru atau Pendidikan Nasional Indonesia. 

Dan Soekarno bergabung ke Partindo. Sebenarnya Hatta berharap banyak dari PNI. Namun, politik agitasi ala Soekarno malah berakibat antiklimaks. "Pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat," ucap Hatta dalam buku itu.

Namun mereka berdua tidak mematahkan persahabatan, mereka hanya berbeda arah memandang, anggaplah jika didalam sebuah kendaran, katakanlah mobil, Soekrarno melihat ke kiri sedang Hatta melihat ke kanan atau sebaliknya Soekarno melihat ke kanan dan Hatta melihat ke kiri, namun satu tujuan bersama, Kemerdekaan bangsa Indonesia.  

Dan pada akhirnya mereka berdualah yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atas nama Bangsa Indonesia. Dan mereka berdua pulalah yang tercatat sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Indonesia.

Konflik Dua Sahabat Pada Saat Indonesia Sudah Merdeka

Kemerdekaan sudahlah diproklamirkan dan cita-cita perjuangan dua sahabat dan seluruh rakyat Indonesia telah tercapai, namun hubungan antara keduanya tidak berjalan mulus, perbedaan pandangan politik tak jarang membuat mereka saling berselih paham. Visi politik mereka kian jauh berbeda. Ada banyak silang pendirian.

Diakibatkan oleh situasi ini dan beberapa faktor lainya. Bahkan pada tahun 1955, Hatta sempat mengirim surat kepada DPR. Dalam surat itu Hatta menyatakan keinginannya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Ketika itu Hatta dengan tegas berkata, "Sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer".

Namun surat tersebut diabaikan oleh DPR, setahun setelah itu, pada Senin 23 Juli 1956. Ketua DPR, pada waktu itu Sartono terkejut  menerima sepucuk surat dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Belum hilang rasa kagetnya, Sartono kembali mengerutkan kening ketika membaca isi surat Hatta tertanggal 20 Juli 1956 itu, yang berbunyi:

"Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi".

Menerima surat tersebut,  DPR awalnya menolak memenuhi permintaan Hatta secara halus. Caranya dengan tidak menanggapi atau membalas surat tersebut. Apalagi, ini bukan kali pertama Hatta mengirimkan surat senada kepada DPR.

Merasa tidak mendapatkan respon dari DPR sebagaimana yang Ia harapkan, Pada Jumat, 23 November 1956, Putra Kelahiran Bukit Tinggi tersebut kembali mengirim surat kepada DPR menanyakan kelanjutan surat sebelumnya.  DPR kemudian memberlakukan surat itu sebagai sesuatu yang mendesak. Maka, sepekan setelah Hatta berkirim surat, dan setelah melewati rapat yang beberapakali ditunda.  

DPR akhirnya menyatakan setuju untuk melepas Hatta. Jadi, terhitung sejak Sabtu, 1 Desember 1956, Mohammad Hatta resmi mengakhiri jabatannya sebagai Wakil Presiden RI yang telah diembannya selama 11 tahun. Kepada Des Alwi Abu Bakar anak angkatnya, Hatta menyatakan dirinya hanya diminta mengurus koperasi selama jadi orang nomor dua di republik.

"Aduh, Des, Om cuma disuruh ngurus koperasi. Segala keputusan politik tidak dikonsultasikan dengan saya. Jadi Om berhenti saja jadi wakil presiden," kata Hatta kepada Des Alwi, dikutip dari buku 'Wapres: Pendamping atau Pesaing?'.

Tahun 1957 --an  Seokarno mengusulkan sistem pemerintahan yang baru. SistemDemokrasi parlementer, diganti dengan sebuah sistem yang disebut demokrasi terpimpin.

Soekarno menganggap sistem parlementer membuat negara tak stabil dan selalu berujung kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Sistem Parlementer tumbang dan akhirnya, semua keputusan ditumpukan ke pemimpin negara, Soekarno.

Dan  Dwitunggal benar-benar bubar dan nyata, koin terbelah menjadi dua. Sejak saat itu hatta secara terbuka menjadi oposisi Soekarno.


Tahun 1960, Hatta menulis artikel panjang berjudul "Demokrasi Kita", yang memuat kritik tajam terhadap Soekarno dan kepemimpinannya.

Diadalam artikel tersebut Hatta menulis, "Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal...Tjuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja."

Soekarno amat marah dengan tulisan yang diterbitkan pertama kali oleh majalah Pandji Masjarakat. Takkhayal Pandji Masyarakat dibredel. Pemimpin redaksinya, Hamka, ditahan. Hatta jadi sulit menulis di media massa. Namun bukan Hatta namanya jika ia berdiam diri. Pria Minangkabau itu mengirimkan surat-surat pribadi untuk menyampaikan kritik kepada Soekarno.

Persahabatan Yang Tak Luntur Oleh Badai,  Tak Lapuk Oleh Hujan 

Waktu berlalu Bung Karno masih menjadi Presiden Indonesia dengan Sitem Demokrasi Terpimpin, namun pada 1963 ditempat lain Bung Hatta terkena stroke. Walapun Hatta menjadi musuh politik Soekarno, namun presiden pertama RI tersebut  datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Lantas beliau menawarkan agar Hatta berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.

Lantas Hatta berkenan berobat ke Swedia. Mereka bertemu di Istana sebelum keberangkatan. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja,"Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta."

Mendapatkan perawatan yang intensif di Swedia kondisi kesehatan Bungg Hatta perlahan membaik. Dan setelah pulih beliau berkeliling ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Tapi, seorang   sahabat  yang bernama Hatta tidak pernah mengkritik Soekarno secara frontal di negara-negara yang dikunjunginya..

Pada ceramahnya di Amerikat Serikat  Hatta mengatakan, "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun...Benar atau salah, ia presiden saya."

Tahun-tahun berlalu, terjadi gejolak besar dalam sejarah bangsa  setelah Indonesia merdeka. 1965 terjadi gerakan makar  yang  dilakukan oleh PKI yang dikenal dengan Gerakan 30 September.  

Situasi politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan ekonomi memburuk terjadi implasi, desakan meluas untuk membubarkan PKI beserta seluruh organisasi sayapnya, demontrasi meluas yang dikenal dengan TRITURA ( Tri Tuntutan Rakyat ) --" Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya - Pembersihan Kabinet Dwikora - Penurunan Harga-harga barang". 

Namun Kabinet reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat  karna ada tokoh yang terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan PKI, kewibawaan Soekrno runtuh setalah Makahah Meliter Luar dimampu berbuat banyak  untuk mengadili tokoh PKI. Maka runtuhlah orde lama berganti orde baru yang dipimpin oleh Soeharto.

Soekarno dikenakan tahanan rumah oleh Pemerintahan orde baru. Pada 1970, Guntur Soekarnoputra akan menikah di Bandung. Ayahnya tak bisa mendampingi. Soekarno lalu menyarankan Guntur agar meminta Hatta sebagai wali. Guntur bingung: mungkinkah Hatta mau? Bukankah Hatta dan ayahnya bertentangan?

"Soekarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.

Dan benar saja. Hatta langsung menerima saat Guntur memintanya menjadi wali pernikahan Guntur Soekarnoputra.

Peristiwa lainya yang juga menggambarkan bahwa persahabatan mereka bukan sekedar persahabatan biasa, ketika Bung Karno telah beberapa hari tergolek sakit di Wisma Yaso, kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. 

Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan.  Disisi lain, Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta.  Peritiwa yang mengharu-biru pun terjadi pada pertemuan itu, sebagaimana yang dikisahkan oleh Meutia Hatta dalam bukunya, Bung Hatta: Pribadinya Dalam Kenangan. Dan Kisah ini juga diceritakan Roso Daras dalam bukunya Total Bung Karno.

Berkata lirih Soekarno kepada Hatta, "Hatta, kau di sini?" Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya.

Demi memompa semangat kepada sahabat,  wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, "Ya, bagaimana keadaanmu, No?" begitu Hatta membalas sapaan lemah Bung Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno.

Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, "Hoe at het met jou" (Bagaimana keadaanmu?)
Hatta benar-benar tak kuasa lagi raut wajahnya teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgia, romantisme perjuangan.

Apalagi, usai berkata-kata lemah, Soekarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya.

Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.

"No," Hanya kata itu yang sanggup diucapkan Bung Hatta, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan.

Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas.

Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan. Mereka berbicara melalui bahasa mata.

Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput.

Dan ternyata itulah pertemuan antara dua sahabat, dwitunggal yang abadi. Selang  hari kemudian, 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dunia. Hatta menyusul sepuluh tahun setelahnya, tepatnya pada 14 Maret 1980. Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Sementara Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Soekarno dan Hatta  ibarat malam dan siang,  berbeda.  Namun saling melengkapi, akan selalu ada kesunyian setelah keramaian atau sebaliknya. Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap.  Persahabatan sejati mereka tidak akan pernah berakhir.  

Jalan politik yang berbeda tak membuat mereka saling  tak menyapa, memutuskan persahabatan, membuat sekat permusuhan, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik.

Mereka  dua namun satu. Persahabatan Yang Tak Luntur Oleh Badai,  Tak Lapuk Oleh Hujan. (Hidayat Syahputra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun