Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan.
"No,"Â Hanya kata itu yang sanggup diucapkan Bung Hatta, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan.
Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas.
Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan. Mereka berbicara melalui bahasa mata.
Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput.
Dan ternyata itulah pertemuan antara dua sahabat, dwitunggal yang abadi. Selang  hari kemudian, 21 Juni 1970, Soekarno meninggal dunia. Hatta menyusul sepuluh tahun setelahnya, tepatnya pada 14 Maret 1980. Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Sementara Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Soekarno dan Hatta  ibarat malam dan siang,  berbeda.  Namun saling melengkapi, akan selalu ada kesunyian setelah keramaian atau sebaliknya. Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap.  Persahabatan sejati mereka tidak akan pernah berakhir. Â
Jalan politik yang berbeda tak membuat mereka saling  tak menyapa, memutuskan persahabatan, membuat sekat permusuhan, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik.
Mereka  dua namun satu. Persahabatan Yang Tak Luntur Oleh Badai,  Tak Lapuk Oleh Hujan. (Hidayat Syahputra)