Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muak

2 Desember 2023   21:15 Diperbarui: 2 Desember 2023   21:32 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source pict: hidaalmaida

CERPEN MUAK - RESAH SERIES

Cerpen 2 -- Muak

            Nara tidak pernah semarah ini.

            Wajahnya merah padam, sorot matanya dingin, bibirnya membentuk satu garis lurus, ujung sepatunya berlumpur, dan langkah lebarnya yang menyusuri lorong kampusnya yang ramai menjadi pusat perhatian. Bahkan, Nara yang biasa tampil rapi dan tertata, kini tak peduli jika rambut sebahunya tergerai berantakan. Masa bodoh jika ada yang mengecapnya gadis pemarah yang gila.

Baca juga: Dialog Dini Hari

            Langkah lebarnya berhenti di sebuah ruangan penuh tawa. Begitu menyadari keberadaannya, ruangan itu senyap. Seorang gadis dengan polesan lipstik merah menyala yang duduk paling depan, mendadak pias. Jelita namanya.

            "Nara, ada apa? Apa ada yang tertinggal?" tanya Jelita dengan suara gugup.

             Nara mengangguk. Dengan langkah pasti, gadis itu berjalan hingga berdiri di sisi Jelita. Selanjutnya, yang terdengar adalah pekikan terkejut beberapa orang karena dengan sengaja, Nara menumpahkan isi gelas kopi yang baru dibelinya tepat ke kepala Jelita. Seketika kemeja putih bergaris milik gadis itu bermotif abstrak.

            "Aku lupa mendinginkan kepalamu, Lita!" tukas Nara dingin.

            Bisik-bisik di sekitarnya terdengar semakin jelas. Intinya sama. Mereka mengiranya kerasukan. Pasti ada setan jahat yang telah merasuki raga Nara yang baik hati hingga sudi meluapkan kemarahan seperti itu.

            "Kepala yang penuh amarah dan rasa dengki harus segera didinginkan, Lita. Aku sangat terkejut melihat kolase yang kukerjakan bermalam-malam dipenuhi jus stroberi milikmu, padahal aku tidak berniat mewarnaninya. Aku belum pernah bertemu dengan manusia fiktif sepertimu. Kau sama seperti gadis antagonis yang dengki pada putri raja di buku-buku dongeng."

            "Ap-apa..."

            "Bodoh, picik, kekanakan, bermuka dua, dan murahan."

            Semua pasang mata, baik di luar maupun dalam ruangan itu menatapnya terkejut. Sudah jelas jika Nara kerasukan. Nara yang mereka kenal, yang baik hati dan pendiam tidak mungkin mengatakan kata-kata sekasar itu, apalagi kepada sahabatnya sendiri. Namun, belum lepas mereka dari rasa keterkejutan, Nara sudah lebih dulu mengeluarkan berpuluh-puluh kertas dari kantong plastik yang sejak tadi digenggamnya erat, lalu melempar semuanya tepat ke wajah Jelita.

            Mereka menonton drama yang biasa tayang di televisi secara langsung.

            "Kau mungkin membutuhkannya untuk membersihkan diri, Lita!" tukasnya sekali lagi sebelum berderap keluar ruangan begitu saja. Barangkali, ini kali pertama Nara merasa hatinya begitu lega dan lapang setelah mempermalukan orang lain.

            ***

            Nara tidak marah ketika Jelita menumpahkan jus mangga ke atas kasurnya saat gadis itu singgah untuk meminjam buku. Nara juga tidak marah saat di depan teman-teman sekelas, Jelita---orang yang katanya yang sangat mengenal Nara---mengumumkan kebiasaan-kebiasaan aneh Nara, lalu menertawakannya. Bahkan, Nara diam saja ketika Jelita datang bergandengan tangan dengan Lingga, laki-laki yang pernah diceritakan Nara pada Jelita bahwa dia menyukai kepribadian laki-laki itu. Biasanya, gadis itu hanya diam dan menoleh tak acuh, bersikap seolah tak melihat dan tak mendengar apapun.

            Sangat-sangat tenang.

            Saking tenangnya, hingga waktu sebelum dia membuat kekacauan di kampus, Nara yakin hanya ada sekitar 2 sampai 3 persen orang dari seluruh populasi manusia di fakultasnya yang mengetahui keberadaannya. Marah, merendahkan orang lain, dan menjadi pusat perhatian jelas bukan dirinya.

            "Kupikir kalian berteman sangat baik," komentar seseorang. Nara tidak terlalu mengenalnya, tetapi wajahnya familier. Mungkin, beberapa kali mereka pernah berpapasan di sekitar fakultas dan perpustakaan.

            "Aku Rayyan." Begitu dia memperkenalkan diri dengan tiba-tiba duduk di sebelah Nara, di depan kolam teratai milik perpustakaan kampus, dengan menyodorkan satu cup es krim. Katanya, es krim sangat ampuh meredakan amarah dan emosi buruk lainnya yang dirasakan seseorang.

            "Aku tidak pernah merasa benar-benar berteman cukup baik dengan siapapun," sahut Nara. Meski belum mengucapkan terima kasih, Nara sudah menghabiskan es krim pemberian laki-laki itu hingga setengah.

            Rayyan memecah tawanya. "Tapi kau keren, Nara! Kau menakjubkan," komentarnya lagi. "Aku seperti menonton film di mana korban perundungan membalas orang yang merundungnya."

            "Itu memalukan," sahut Nara. Sejujurnya, setelah berdiam cukup lama di sini dan menekuri kembali perbuatannya, Nara merasa perbuatannya sangat memalukan. Namun, di sisi lain, Nara juga merasa lebih tenang. Amarah dan rasa kecewanya terlampiaskan.

            Nara menghembuskan nafas gusar. "Aku merasa bersalah, tetapi aku juga lega bisa membalasnya. Perasaan yang sama seperti ketika aku merasa kasihan pada orang-orang yang dihukum setelah melakukan kejahatan, lalu menyadari jika tidak ada hukuman, tidak akan ada rasa jera. Seseorang akan terus bertindak sesukanya. Membalas keburukan dengan keburukan tidak sepenuhnya buruk."

            Nara sadar, dia diperhatikan. Toh, jika menjadi Rayyan---entah itu nama asli atau samaran---Nara juga akan melakukannya. Untuk ukuran seorang Nara, berbicara sepanjang itu tentu aneh.

            "Kupikir lagi, kau seorang yang pendiam, Nara. Di antara teman-teman Lita, kau yang paling jarang bicara," ujar Rayyan. Nana mengedip pelan. Lantas menghembuskan nafasnya kasar.

            "Aku bicara dalam kepalaku."

            "Apa ada alasan khusus kenapa kau mengutarakan isi kepalamu padaku?"

            "Aku takut kepalaku meledak. Kemarahan tadi tidak cukup."

            Di sebelahnya, Rayyan mengangguk-angguk. Nara yang sudah menanggalkan idealisnya di tumpahan kopinya tadi pun, turut hanyut. "Beberapa orang diam, karena isi kepala mereka mengerikan," tambahnya kemudian.

            "Kau juga?" tanya Rayyan.

            Nara mengangguk. "Kalau orang-orang tahu apa yang kupikirkan, mungkin tidak ada orang yang mau untuk sekadar menyapaku."

            "Apa yang kau pikirkan?"

            Kepala Nara berputar 40 derajat. Sorot matanya yang dingin, sudah meredup. Deru nafasnya yang cepat saat Rayyan menghampirinya pun sudah lebih tenang. "Seberapa besar aku harus memercayaimu untuk menjawabnya? Terakhir kali aku menaruh kepercayaan, orang itu menghancurkanku hingga mimpi-mimpiku."

            "Aku pelupa, dan tidak suka bergosip, Nara. Anggap saja aku buku kosong yang biasa kau bawa saat duduk di sini. Kau bisa ceritakan apapun, lalu aku yang akan menutupnya."

            Nara tidak begitu yakin, sebenarnya. Namun, Nara takut kepalanya meledak saking panasnya. Nara juga ragu, apa dia bisa mengeluarkan kata-kata manis, alih-alih makian, jika bertemu Jelita lagi nantinya. Karena itu, Nara mengambil opsi yang ditawarkan laki-laki di sebelahnya.

            "Aku merasa muak," gumamnya.

            "Pada Jelita?"

            "Lebih banyak padanya. Tapi kadang aku juga muak pada semua orang. Aku muak pada orang-orang yang ikut menertawakan lelucon Jelita, aku muak ketika orang-orang sudah membual di hadapanku, aku muak melihat Jelita memoles lipstik di setiap tempat dan waktu, bahkan aku muak melihat orang-orang yang berjalan di depanku. Merasa muak dan hampa, itu lebih menyebalkan daripada merasakan sakit."

            Sekadar memastikan, Nara menoleh. Dan, benar saja. Rayyan terperangah menatapnya. Pria itu tergagap menanggapinya. Bola matanya liar ke sana ke mari, menyusun kalimat paling tepat barangkali. "Jelita... dia tidak tampak seburuk itu."

            "Bukan hanya Jelita, aku membicarakan semua orang," sela Nara cepat. Detik setelahnya, gadis itu berdecak cepat. Keinginannya untuk menahan diri, kalah pada rasa muaknya pada temannya sejak menginjak bangku perkuliahan itu. "Lagipula Jelita tidak sebaik itu, setidaknya padaku."

            "Apa yang dilakukannya?"

            "Seberapa besar aku harus memercayaimu untuk mengatakannya?"

            "Apa aku masih bisa memakai alasan yang sebelumnya?"

            Wajah polos Rayyan memaku Nara. Gadis itu berdecak tipis sebelum melempar pandangannya kembali ke tengah-tengah kolam teratai. "Jauh sebelum menghancurkan kolase yang kubuat untuk lomba dengan dalih tidak sengaja, Jelita sudah membuatku muak karena berpacaran dengan orang yang kusukai, tetapi bersikap tidak terjadi apa-apa. Jelita membuatku muak karena membicarakan kebiasaanku seolah itu lucu, aku muak karena dia terlalu banyak bicara, aku muak saat dia melembutkan suaranya pada pria manapun, ah, aku juga muak karena dia sering mengacaukan jam tidurku dengan curhatan-curhatan menyebalkannya."

            "Jelita tahu itu?" Nara menggeleng. "Itu karena dia tidak tahu, Nara. Jika dia tahu, dia mungkin berhenti mengusikmu. Kalian berteman cukup dekat."

            "Dekat tidak selalu baik. Jelita selalu bersikap dia lebih baik dariku, dan itu memuakkan."

            "Kau bisa mendiamkannya begitu saja, seharusnya."

            "Aku sudah melakukannya selama tiga tahun, tapi kali ini dadaku terlalu sesak untuk diam saja. Aku takut mati karena menahan amarah hanya untuk menjaga perasaannya."

            Rayyan mangut-mangut. "Rupanya kau tidak biasa meluapkan perasaanmu," simpulnya. Nara tidak membantah. Meluapkan perasaan, apapun itu, baik senang, sedih, maupun amarah, seperti pekerjaan berat baginya.

            "Rasa muakku membuatku enggan bersosialisasi. Itu membuatku lelah. Berhubungan dengan orang lain seperti pekerjaan berat bagiku."

            Matahari semakin tinggi. Sinarnya menyentuh ujung sepatu Nara yang berlumpur. Deru nafas keduanya saling bersahut, tenang.

            "Apa kau merasa lebih baik setelah meluapkan kemarahanmu?" tanya Rayyan hati-hati.

            Nara mengangguk tanpa berpikir. "Walau di satu sisi aku juga merasa itu memalukan. Tapi setidaknya, masa bodoh terhadap hal memalukan lebih mudah bagiku daripada masa bodoh dengan perasaan sesak yang kuhadapi. Menahan amarah karena sesuatu bisa membuatku merasa tidak nyaman hingga berhari-hari."

            Sekonyong-konyong, Rayyan meletakkan bekas kaleng minuman dinginnya ke telapak tangan Nara. "Lain kali, remukkan sesuatu, bakar sesuatu, robek sesuatu, atau lakukan apapun saat kau marah, Nara. Jangan memendamnya, tapi jangan melampiaskannya juga dengan cara yang bodoh. Sesaat kau akan terlihat keren, tapi kau juga akan terlihat bodoh. Jika dengan bersikap tidak peduli tidak membuatnya jera, selamatkanlah dirimu dengan lari dari hal-hal yang membuatmu muak itu, Nara."

            Nara bergeming. Namun, seolah diprogram, tangannya mengepal meremukkan kaleng minuman Rayyan. "Kau tidak bisa lepas dari rasa muak itu, Nara. Sebab memang ada banyak manusia memuakkan di dunia ini. Kau cuma perlu mencari pelarian untuk lebih tenang," petuah Rayyan kemudian. Mendadak, orang tidak dikenal itu menjelma bak motivator.

            Matahari sudah tepat di atas kepala. Terik bukan main. Sayup-sayup terdengar suara adzan zuhur berkumandang. Namun, amarah Nara padam. Isi kepalanya yang riuh, mendadak tenang. Bersama Rayyan, dia mengumpulkan sampah bekas makanan mereka juga sampah lainnya yang dibuang sembarangan di dekat bangku taman perpustakaan. Mereka sibuk. Meski begitu, gumaman Rayyan masih terdengar olehnya.

            "Benar ternyata, tidak ada tempat sembunyi yang lebih baik di dunia ini selain diri sendiri."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun