"Bodoh, picik, kekanakan, bermuka dua, dan murahan."
      Semua pasang mata, baik di luar maupun dalam ruangan itu menatapnya terkejut. Sudah jelas jika Nara kerasukan. Nara yang mereka kenal, yang baik hati dan pendiam tidak mungkin mengatakan kata-kata sekasar itu, apalagi kepada sahabatnya sendiri. Namun, belum lepas mereka dari rasa keterkejutan, Nara sudah lebih dulu mengeluarkan berpuluh-puluh kertas dari kantong plastik yang sejak tadi digenggamnya erat, lalu melempar semuanya tepat ke wajah Jelita.
      Mereka menonton drama yang biasa tayang di televisi secara langsung.
      "Kau mungkin membutuhkannya untuk membersihkan diri, Lita!" tukasnya sekali lagi sebelum berderap keluar ruangan begitu saja. Barangkali, ini kali pertama Nara merasa hatinya begitu lega dan lapang setelah mempermalukan orang lain.
      ***
      Nara tidak marah ketika Jelita menumpahkan jus mangga ke atas kasurnya saat gadis itu singgah untuk meminjam buku. Nara juga tidak marah saat di depan teman-teman sekelas, Jelita---orang yang katanya yang sangat mengenal Nara---mengumumkan kebiasaan-kebiasaan aneh Nara, lalu menertawakannya. Bahkan, Nara diam saja ketika Jelita datang bergandengan tangan dengan Lingga, laki-laki yang pernah diceritakan Nara pada Jelita bahwa dia menyukai kepribadian laki-laki itu. Biasanya, gadis itu hanya diam dan menoleh tak acuh, bersikap seolah tak melihat dan tak mendengar apapun.
      Sangat-sangat tenang.
      Saking tenangnya, hingga waktu sebelum dia membuat kekacauan di kampus, Nara yakin hanya ada sekitar 2 sampai 3 persen orang dari seluruh populasi manusia di fakultasnya yang mengetahui keberadaannya. Marah, merendahkan orang lain, dan menjadi pusat perhatian jelas bukan dirinya.
      "Kupikir kalian berteman sangat baik," komentar seseorang. Nara tidak terlalu mengenalnya, tetapi wajahnya familier. Mungkin, beberapa kali mereka pernah berpapasan di sekitar fakultas dan perpustakaan.
      "Aku Rayyan." Begitu dia memperkenalkan diri dengan tiba-tiba duduk di sebelah Nara, di depan kolam teratai milik perpustakaan kampus, dengan menyodorkan satu cup es krim. Katanya, es krim sangat ampuh meredakan amarah dan emosi buruk lainnya yang dirasakan seseorang.
      "Aku tidak pernah merasa benar-benar berteman cukup baik dengan siapapun," sahut Nara. Meski belum mengucapkan terima kasih, Nara sudah menghabiskan es krim pemberian laki-laki itu hingga setengah.