"Apa aku masih bisa memakai alasan yang sebelumnya?"
      Wajah polos Rayyan memaku Nara. Gadis itu berdecak tipis sebelum melempar pandangannya kembali ke tengah-tengah kolam teratai. "Jauh sebelum menghancurkan kolase yang kubuat untuk lomba dengan dalih tidak sengaja, Jelita sudah membuatku muak karena berpacaran dengan orang yang kusukai, tetapi bersikap tidak terjadi apa-apa. Jelita membuatku muak karena membicarakan kebiasaanku seolah itu lucu, aku muak karena dia terlalu banyak bicara, aku muak saat dia melembutkan suaranya pada pria manapun, ah, aku juga muak karena dia sering mengacaukan jam tidurku dengan curhatan-curhatan menyebalkannya."
      "Jelita tahu itu?" Nara menggeleng. "Itu karena dia tidak tahu, Nara. Jika dia tahu, dia mungkin berhenti mengusikmu. Kalian berteman cukup dekat."
      "Dekat tidak selalu baik. Jelita selalu bersikap dia lebih baik dariku, dan itu memuakkan."
      "Kau bisa mendiamkannya begitu saja, seharusnya."
      "Aku sudah melakukannya selama tiga tahun, tapi kali ini dadaku terlalu sesak untuk diam saja. Aku takut mati karena menahan amarah hanya untuk menjaga perasaannya."
      Rayyan mangut-mangut. "Rupanya kau tidak biasa meluapkan perasaanmu," simpulnya. Nara tidak membantah. Meluapkan perasaan, apapun itu, baik senang, sedih, maupun amarah, seperti pekerjaan berat baginya.
      "Rasa muakku membuatku enggan bersosialisasi. Itu membuatku lelah. Berhubungan dengan orang lain seperti pekerjaan berat bagiku."
      Matahari semakin tinggi. Sinarnya menyentuh ujung sepatu Nara yang berlumpur. Deru nafas keduanya saling bersahut, tenang.
      "Apa kau merasa lebih baik setelah meluapkan kemarahanmu?" tanya Rayyan hati-hati.
      Nara mengangguk tanpa berpikir. "Walau di satu sisi aku juga merasa itu memalukan. Tapi setidaknya, masa bodoh terhadap hal memalukan lebih mudah bagiku daripada masa bodoh dengan perasaan sesak yang kuhadapi. Menahan amarah karena sesuatu bisa membuatku merasa tidak nyaman hingga berhari-hari."