"Apa yang kau pikirkan?"
      Kepala Nara berputar 40 derajat. Sorot matanya yang dingin, sudah meredup. Deru nafasnya yang cepat saat Rayyan menghampirinya pun sudah lebih tenang. "Seberapa besar aku harus memercayaimu untuk menjawabnya? Terakhir kali aku menaruh kepercayaan, orang itu menghancurkanku hingga mimpi-mimpiku."
      "Aku pelupa, dan tidak suka bergosip, Nara. Anggap saja aku buku kosong yang biasa kau bawa saat duduk di sini. Kau bisa ceritakan apapun, lalu aku yang akan menutupnya."
      Nara tidak begitu yakin, sebenarnya. Namun, Nara takut kepalanya meledak saking panasnya. Nara juga ragu, apa dia bisa mengeluarkan kata-kata manis, alih-alih makian, jika bertemu Jelita lagi nantinya. Karena itu, Nara mengambil opsi yang ditawarkan laki-laki di sebelahnya.
      "Aku merasa muak," gumamnya.
      "Pada Jelita?"
      "Lebih banyak padanya. Tapi kadang aku juga muak pada semua orang. Aku muak pada orang-orang yang ikut menertawakan lelucon Jelita, aku muak ketika orang-orang sudah membual di hadapanku, aku muak melihat Jelita memoles lipstik di setiap tempat dan waktu, bahkan aku muak melihat orang-orang yang berjalan di depanku. Merasa muak dan hampa, itu lebih menyebalkan daripada merasakan sakit."
      Sekadar memastikan, Nara menoleh. Dan, benar saja. Rayyan terperangah menatapnya. Pria itu tergagap menanggapinya. Bola matanya liar ke sana ke mari, menyusun kalimat paling tepat barangkali. "Jelita... dia tidak tampak seburuk itu."
      "Bukan hanya Jelita, aku membicarakan semua orang," sela Nara cepat. Detik setelahnya, gadis itu berdecak cepat. Keinginannya untuk menahan diri, kalah pada rasa muaknya pada temannya sejak menginjak bangku perkuliahan itu. "Lagipula Jelita tidak sebaik itu, setidaknya padaku."
      "Apa yang dilakukannya?"
      "Seberapa besar aku harus memercayaimu untuk mengatakannya?"