"Apa memandangiku begitu bisa mengubah perasaanmu, Sentana?" Asmara menoleh cepat. Terkurung sesaat dalam iris kelam milik Sentana.
Namun, alih-alih membuang muka, Sentana malah menantangnya. "Kau tidak berubah, Mara," ujarnya.
Asmara mendengus. Sesak. Berat sekali mengakui bahwa pria itu masih tertinggal di dalam dirinya. "Apa aku tidak boleh menyalahkanmu, lagi?" tanya Asmara, menunduk. Persetan dengan buku selflove, quotes independentwoman, atau aktor-aktor favoritnya.
"Bahkan setelah aku mengatakan aku tidak salah, aku yakin kau tetap mengutukku setiap hari, Mara. Jika menyalahkanku membuatmu sedikit lega, lakukan saja. Kau juga boleh melemparku atau memukulku," tutur Sentana.
Asmara menoleh tajam. Lihat betapa bajingan pria di depannya! Pria itu mengakui dengan sadar bahwa dirinya tidak bisa mencintai Sentana---belum, dan entah kapan bisanya. Namun, pria itu seenaknya memperlakukan Asmara dengan baik. Meluluhlantakkan pertahanan Asmara hanya dengan kalimat-kalimat basi yang sebenarnya sudah didengar Asmara berkali-kali.
"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya," tukas Asmara.
"Apa?"
"Membuangmu dari diriku, tidak peduli berapa kali aku melakukannya."
Sentana bergeming.
"Sentana, aku berusaha melupakanmu setiap hari," ungkap Asmara lagi. Lebih jujur, bukan hanya pada Sentana, tetapi lebih kepada dirinya sendiri.
Sama seperti kala Sentana mengusirnya, menyuruhnya berhenti mencintai pria itu, Asmara juga berpikir bahwa suatu saat pria itu akan pergi dengan sendirinya dari hidupnya. Bahkan jika akhirnya Asmara tidak mencintai siapapun, setidaknya tidak ada lagi Sentana dalam dirinya. Sialnya, hingga Asmara mendekati kematiannya, pria itu sama sekali tidak beranjak---hanya bersembunyi.