Asmara menatap Sentana lurus-lurus. "Aku akan mati," akunya. "Tapi aku masih ingin hidup lebih baik, meski sedikit, meski sekali. Tidak bisakah kau lakukan itu untukku?"
"Apa?" Sentana bertanya dingin.
"Mencintaiku," sahut Asmara cepat. "Aku punya harapan, Sentana. Aku ingin hidup sedikit lebih lama."
"Dicintai tidak akan membuatmu hidup lebih lama, Mara."
"Kau tahu, hidup hanya akan terasa lama jika kau menghargainya."'
"Mara...."
"Sentana, tolonglah! Kupikir aku sudah hidup dengan baik. Kupikir apa yang kupunya sudah cukup. Tapi setelah dokter memvonis usiaku tak akan lama, aku menyadari bahwa tidak ada satupun hal berharga yang kumiliki."
"Kau memiliki dirimu, Mara. Itu sudah lebih dari berharga."
"Tapi aku juga akan kehilangannya," sela Asmara. "Sekali saja, Sentana. Kalau waktu beberapa pekan terlalu lama, sepekan saja. Ah, tidak. Sehari. Sehari saja. Bahkan kalau sehari terlalu lama dan melelahkan untukmu, satu jam saja. Hanya satu jam. Tolong lihat aku sebagai wanita yang kau cintai."
Suara Sentana berikutnya, terdengar lebih lunak. Pria itu menatapnya sama seperti saat Asmara menangis karena ibunya menikah lagi. "Apa dicintai akan membuat hidupmu lebih berharga?" tanya pria itu.
Asmara mengangguk. Tangisnya luruh dengan senyum haru. "Aku akan mati dengan ingatan bahwa ada seseorang yang mencintaiku, dan melepas kepergianku dengan doa. Ingatan seperti itu bisa membuatku pulang dengan perasaan yang lapang."