"Tapi aku tidak bisa menjadi obatmu, Mara."
Asmara sudah menebaknya, bahkan sebelum Asmara berniat menemuinya.
"Setidaknya berbaik hatilah pada orang yang sedang sakit."
 "Maaf."
Asmara tidak menyahut. Perempuan itu mengedarkan pandangan di rumah Sentana yang tidak berubah. Bahkan setelah lima tahun, Sentana tidak membuang apapun. Tidak foto Asmara di dekat tangga, sepatu lusuh, atau hanya gelas yang dibelikan Asmara. Namun, Asmara tidak ingin berbaik sangka dengan berpikir Sentana telah berubah. Alasan Sentana masih menyimpan bau Asmara di rumahnya terlalu jelas---pria itu malas membuangnya.
"Sentana, aku akan mati," ungkap Asmara tiba-tiba.
Sentana menoleh. "Semua orang juga akan mati," sahutnya.
Senyum getir Asmara terkembang. "Tetapi mereka tidak seberuntung aku. Mereka tidak tahu kapan mereka akan mati."
"Tidak ada waktu yang pasti untuk kematian, Mara."
"Setidaknya mereka yang sudah diprediksi kapan akan mati, bisa mempersiapkan diri."
Sentana tidak menyahut. Asmara sadar dirinya dipandangi lekat-lekat oleh pria itu. Pria yang hingga detik ini, jauh dalam diri Asmara, masih menempati hatinya---sepenuh dirinya. Ah, bagaimana bisa cinta pertama berakhir seburuk ini?