Asmara mengerti keresahan Pia. Namun, Asmara tidak punya pilihan dan tidak pula bisa memilih. Glioblastoma yang dideritanya telah tumbuh dengan sangat baik. Asmara kehilangan sebagian fungsi otak dan gerak tubuhnya, penglihatannya perlahan memburuk, ingatannya apalagi, dan setiap hari, Asmara harus menahankan sakit luar biasa di kepalanya.
Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah menghadapi kematiannya dengan baik.
"Aku hanya berharap rasanya tidak akan terlalu sakit, Pia," kata Asmara.
Di dingin lantai ruangan persegi itu, Asmara pernah duduk---terjatuh setelah tak mampu menjangkau tempat tidurnya. Matanya yang buram, tak sengaja menatap potret kelulusannya sewaktu SMA yang terletak di atas nakas. Ayahnya merangkulnya dengan erat dan bahagia di foto itu.
Asmara akan mati. Mereka akan bertemu tak lama lagi. Namun, Asmara malah merasa iri sebab kematiannya nanti tidak sebaik kematian ayahnya.
"Ayah beruntung memiliki aku," ujarnya lirih. "Setidaknya dia memiliki sesuatu yang ingin dia lakukan sebelum mati. Meski sebatas memastikan seseorang hidup baik-baik saja, setidaknya ayah memilikinya."
Asmara akan mati tanpa diiringi cinta, seperti kala dia mengiringi kepergian ayahnya. Asmara akan mati tanpa seorangpun yang mendoakannya. Bagian terburuknya, Asmara mungkin hanya akan diingat sebagai bawahan, atasan, dan rekan bekerja.
Tidak ada yang mengingatnya sebagai Asmara.
Saat itulah, Asmara berpikir bahwa pernikahan dan cinta bukan dua hal yang buruk untuk dia miliki. Bahkan jika dua hal itu terlalu mahal, Asmara hanya berharap memiliki seseorang yang akan mengingatnya setelah mati.
***
Dan, namanya Sentana.