Pria yang mematahkan hatinya dengan hebat hingga Asmara enggan menikah, atau sekadar mencintai seseorang. Kesalahan Sentana, yang membuat mereka akhirnya berpisah, bukanlah karena pria itu mencintai wanita lain. Bukan pula karena orang tua Sentana menentang hubungan mereka.
Satu-satunya kesalahan Sentana adalah tidak bisa mencintai.
Siapapun.
Suatu tragedi di masa kecil membuatnya melihat setiap perempuan sebagai sosok yang mengerikan. Tidak untuk Asmara, awalnya. Sayangnya, tujuh tahun keluar masuk hidup Sentana tidak mengubah apapun.
"Berhentilah, Asmara. Aku masih belum bisa mencintaimu," katanya di hari mereka berpisah dan tidak pernah bertemu lagi.
Namun, petang ini, tersuruk-suruk Asmara mendatanginya. Merelakan semua alat medis yang membantunya tetap hidup, Asmara mengunjungi Sentana yang berpotensi besar menolaknya, lagi.
"Kau tidak hidup lebih baik dari yang kukira, Sentana." Begitu Asmara menyapanya.
Di depan pintu rumah pria itu, dihujani semburat matahari kala petang, Sentana hanya menatapnya lama. Pria itu masih Sentana yang dikenal Asmara. Sentana yang tidak tahu caranya menyapa, Sentana yang tidak pernah membiarkan rambutnya memanjang, tetapi selalu menolak untuk dipotong lebih pendek dari biasanya, Sentana yang menyukai baju berlengan panjang, dan Sentana yang selalu menyorot siapa saja dengan pandangan lelah.
"Setidaknya kau harus mempersilakan tamumu masuk." Jika saja Asmara tidak menegurnya, barangkali Sentana tidak akan tergerak untuk membukakan pintu lebih lebar dan membantunya masuk.
"Kau sakit?" Sentana menanyakan kabarnya. Untuk kali pertama sejak Asmara mengenalnya dua belas tahun silam.
"Seperti yang kau lihat," jawab Asmara.