Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meminjammu kepada Petang (Cerpen)

30 Juni 2023   12:18 Diperbarui: 30 Juni 2023   12:47 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria yang mematahkan hatinya dengan hebat hingga Asmara enggan menikah, atau sekadar mencintai seseorang. Kesalahan Sentana, yang membuat mereka akhirnya berpisah, bukanlah karena pria itu mencintai wanita lain. Bukan pula karena orang tua Sentana menentang hubungan mereka.

Satu-satunya kesalahan Sentana adalah tidak bisa mencintai.

Siapapun.

Suatu tragedi di masa kecil membuatnya melihat setiap perempuan sebagai sosok yang mengerikan. Tidak untuk Asmara, awalnya. Sayangnya, tujuh tahun keluar masuk hidup Sentana tidak mengubah apapun.

"Berhentilah, Asmara. Aku masih belum bisa mencintaimu," katanya di hari mereka berpisah dan tidak pernah bertemu lagi.

Namun, petang ini, tersuruk-suruk Asmara mendatanginya. Merelakan semua alat medis yang membantunya tetap hidup, Asmara mengunjungi Sentana yang berpotensi besar menolaknya, lagi.

"Kau tidak hidup lebih baik dari yang kukira, Sentana." Begitu Asmara menyapanya.

Di depan pintu rumah pria itu, dihujani semburat matahari kala petang, Sentana hanya menatapnya lama. Pria itu masih Sentana yang dikenal Asmara. Sentana yang tidak tahu caranya menyapa, Sentana yang tidak pernah membiarkan rambutnya memanjang, tetapi selalu menolak untuk dipotong lebih pendek dari biasanya, Sentana yang menyukai baju berlengan panjang, dan Sentana yang selalu menyorot siapa saja dengan pandangan lelah.

"Setidaknya kau harus mempersilakan tamumu masuk." Jika saja Asmara tidak menegurnya, barangkali Sentana tidak akan tergerak untuk membukakan pintu lebih lebar dan membantunya masuk.

"Kau sakit?" Sentana menanyakan kabarnya. Untuk kali pertama sejak Asmara mengenalnya dua belas tahun silam.

"Seperti yang kau lihat," jawab Asmara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun