Asmara mengendikkan bahunya. "Tidak ada. Tapi kupikir begitulah hidup bekerja."
Sebab, Asmara berkaca dari kedua orang tuanya. Mereka memilih berpisah setelah Asmara cukup dewasa untuk menerimanya. Usaha ayahnya mengalami kemunduran, lalu tak berapa lama, setelah menyelamatkan hidup Asmara dan memastikannya baik-baik saja, pria itu tutup usia. Ayahnya sudah selesai dengan dunia.
Seharusnya, Asmara juga begitu.
"Jangan terus-menerus tinggal sendiri, Asmara. Kau harus dirawat. Seseorang harus mengurusmu."
Saran Pia sebelum wanita itu pulang, tidak bisa dikabulkan Asmara begitu saja. Asmara tidak punya siapa-siapa setelah kematian ayahnya. Kalaupun punya, ibunya, akan sangat memalukan jika tiba-tiba mendatanginya dan memintanya merawat Asmara. Apalagi dulu, Asmara sendiri yang enggan tinggal bersamanya.
Pada akhirnya, sama seperti ketika Asmara ingin menikmati kesenangan hidupnya, dia juga akan menjalani kesakitan hidupnya seorang diri.
***
      Hanya perkara usianya yang tinggal dua sampai tiga bulan lagi, segala hal yang dimiliki Asmara menghilang pelan-pelan. Hal-hal yang dirasanya cukup untuk membuatnya hidup, bergerak menjauhinya.
Karena alasan kesehatan, Asmara meminta cuti panjang dari pekerjaannya di perusahaan yang sudah membesarkan namanya dan menghidupinya. Otomatis, Asmara juga kehilangan rekan-rekan kerja yang menyenangkan---hanya Pia yang masih rutin mengunjunginya.
Asmara juga kehilangan kebebasan dan kesempatan waktu untuk melakukan lebih banyak hal. Sebaliknya, Asmara harus rela terkurung sepanjang hari di ruangan persegi berbau obat. Puncaknya, tabungan untuk menikmati hari tua harus dia relakan untuk biaya pengobatannya.
"Asmara, kau tidak punya sesuatu yang ingin kau lakukan?" tanya Pia, suatu pagi saat mengunjunginya.