Daripada hanya dicintai setahun dua tahun usia pernikahan, Asmara lebih memilih untuk tidak menikah.
Ya, beginilah jadinya jika kamu patah hati hebat, lalu menjadikan oppa atau ahjussi dari negeri ginseng sebagai obatnya---ditambah bumbu-bumbu lain seperti quotes #independentwoman di  media sosial, buku self love, dan sedikit pendidikan.
Karena itulah, masa muda---yang sudah hampir kadaluwarsa---Asmara habiskan dengan mencoba segala hal yang ingin dia lakukan. Moto hidupnya, jika tidak menikah, sangat sederhana. Yaitu, mengerahkan seluruh energi dalam dirinya untuk melakukan banyak hal sebelum dia mati.
Toh, Asmara merasa cukup dengan segala yang dia miliki; pekerjaan dan karir yang mentereng, uang tabungan untuk menikmati hidup, kesempatan waktu, kebebasan, dan rekan-rekan kerja yang menyenangkan. Sudah. Untuk apa lagi pernikahan dan cinta?
Namun, tidak setelah Asmara terbangun di brangkar rumah sakit yang dingin. Hal pertama yang Asmara sadari telah hilang adalah tatapan kagum dan bersemangat dari Pia, rekannya di kantor. Wanita awal tiga puluh itu menatapnya kasihan.
"Ini kejutan yang buruk, Asmara," katanya.
Asmara hanya bisa terkekeh getir. Jangankan Pia, Asmara saja kaget bukan main saat dokter yang tidak pernah dia temui sebelumnya, tidak pernah bertegur sapa apalagi mengobrol banyak dengannya, mendadak mengatakan bahwa umurnya hanya tinggal dua sampai tiga bulan lagi.
"Kematian datang terlalu cepat, Pia," sahut Asmara. Untuk sore ini, langit kota yang biasa dia kagumi, tampak buruk.
"Aku belum mencoba lebih banyak hal. Mengapa aku harus mati?" Asmara bergumam usai tak mendapati jawaban Pia. "Bukankah kita akan mati setelah kita selesai dengan dunia? Karena itu ada bunuh diri. Karena mereka tidak sanggup bertahan dan memilih mati sebelum mereka selesai dengan dunia."
Pia bertanya, "kau dapat teori itu dari mana, Asmara? Buku dan film mana yang menyesatkanmu?"