Mohon tunggu...
Hida Al Maida
Hida Al Maida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara

Seorang introvert yang menyukai seni, puisi, langit, bintang, hujan, laut, bau buku, dan menulis. Punya kebiasaan aneh berbicara dengan diri sendiri, dan mencoret-coret setiap halaman paling belakang buku pelajarannya karena merasa isi kepalanya terlalu meriah, riuh, dan berisik untuk didiamkan begitu saja. Gemar menulis novel, puisi, serta tertarik tentang banyak hal berkaitan dengan hukum, perempuan, dan pendidikan. Baginya, setiap hal di muka bumi ini adalah keindahan dan makna yang perlu diselami sampai jauh, sampai kita menemukan sesuatu bernama hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Salahnya Ibu (Cerpen)

22 Juni 2023   10:21 Diperbarui: 22 Juni 2023   10:55 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Ibu mengangguk. Dia menatapku. Dari jarak sedekat ini, aku melihat betapa tua wanita yang sering kuabaikan ini. Binar matanya tidak lagi jernih, lipatan-lipatan halus memenuhi tiap garis wajahnya, dan entah bagaimana, saat seseorang menua, seluruh letih dan kesakitan hidup bisa dilihat dari raut mukanya.

            "Semua orang berpikir bahwa mereka malaikat, Rui. Mereka merasa lebih tangguh, lebih baik, lebih pengertian, dan lebih sabar dari siapapun. Mereka menanggung semua hal. Mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak benar-benar ingin mereka katakan. Sedangkan hal-hal pentingnya, mereka simpan dalam-dalam. Mereka berpikir bahwa mereka malaikat, karena itu, mereka tidak ingin menyakiti siapapun.

            "Orang-orang yang tersakiti juga begitu. Mereka diam. Bahkan meski seluruh orang memperlakukan mereka dengan tidak adil, meski seluruh orang memperlakukan mereka dengan buruk, mereka tidak akan bilang itu menyakitkan. Karena mereka merasa lebih tangguh, lebih pengertian, lebih baik, dan lebih sabar dari semua orang."

            "Ibu tengah membicarakan diri Ibu, bukan?" sahutku.

            Melihat berapa lama Ibu terdiam, aku menganggap Ibu membenarkan jawabanku.

            "Tapi, Bu, tidak semua orang begitu." Aku menyanggah. Wajah pria empat puluhan berwajah galak, hobi menyemprot dan melempar berkas ke muka bawahannya, dan pelit terbayang di kepalaku.

            Bosku.

            "Ada beberapa orang yang hidup seolah-olah hanya mereka yang memiliki hati, orang lain tidak. Menyakiti orang lain bukan perkara besar bagi mereka. Kurasa, mereka tidak akan pernah merasa tersakiti apalagi menyakiti, Bu."

            "Kita tidak pernah tahu hati manusia, Rui," timpal Ibu. Ibu mungkin benar. Namun, seluruh kewarasanku mencegah pembenaran itu diletakkan untuk bosku.

            Aku dan Ibu diam beberapa saat. Kusesap pelan teh hijau buatan bu Marta. Rasanya sama seperti kali pertama bu Marta menyuguhkannya padaku sekitar sembilan tahun lalu. "Bu," panggilku. "Sudah dua puluh enam tahun menjadi anak Ibu, tapi baru hari ini aku tahu bahwa aku tidak tahu apapun. Terutama tentang Ibu. Dan, setelah kupikir-pikir, itu bukan karena aku selalu merasa masa bodoh---seperti yang dicap orang-orang. Aku tidak tahu apapun karena Ibu diam."

            "Rui..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun