Ibu kutemui tengah melipat mukena, baru saja selesai salat dzuhur. Sama seperti Ibu yang kutemui setiap kali pulang ke rumah, Ibu menyambutku tanpa beban---seolah Ibu tidak sedang melarikan diri dari rumah. Bahkan, sempat-sempatnya Ibu menanyai apa aku sudah makan atau belum.
      Mau tidak mau, aku meladeni segala basa-basi Ibu. Mulai dari mengajakku makan, mencicipi bolu kukus buatan bu Marta, hingga meninjau lingkungan tempat tinggal bu Marta yang kata Ibu merupakan tempat terbaik untuk menghabiskan masa tua.
      Dari sana pula aku menyadari bahwa mungkin saja, semua ketenangan, keteraturan, dan sifat-sifat baik Ibu selama di rumah hanya basa-basi belaka.
      "Dari kalian semua, Ibu tidak menyangka kamu yang datang ke sini," cerita Ibu akhirnya.
      Kami tengah duduk berdua di beranda belakang rumah bu Marta. Sajian halaman yang penuh dengan pot-pot rendah tanaman bunga, suara air sungai yang mengalir, persawahan dan bangau-bangau di kejauhan membuatku sempat lupa bahwa satu di antara kami tengah melarikan diri dari rumah yang sudah dia rawat dengan baik selama 36 tahun.
      "Aneh rasanya, anak yang paling masa bodoh malah lebih dulu menemukan Ibunya yang hilang. Ah, melarikan diri tepatnya."
      Ah, Ibu sadar rupanya.
      "Kamu tahu kenapa manusia tersakiti, menyakiti, atau saling merasa sakit?" tanya Ibu tiba-tiba.
      Aku tidak mengerti ke mana arah percakapan ini. Aku menggeleng saja. Toh, Ibu juga tampak tidak membutuhkan jawabanku.
      "Karena mereka diam," kata Ibu.
      "Diam?" ulangku. Teori semacam ini belum pernah kudengar sebelumnya.