Maka akan aneh jika manusia tanpa masalah mendadak hilang, apalagi kabur---begitu kakak-kakak dan abangku memprediksi.
Sepanjang perjalanan aku memeras otak. Jika berada di posisi Ibu, kira-kira hal apa yang membuatku sampai meninggalkan rumah? Jika sudah berniat meninggalkan rumah, kira-kira ke mana aku akan pergi?
Kalau jadi Ibu, aku akan pergi ke rumah....
"Teman."
Barangkali, iya, teman. Meski aku tidak sepenuhnya yakin---tidak juga memiliki kesamaan entah secara fisik maupun sifat yang membuatku saling terhubung dengan Ibu---aku memilih pergi ke rumah satu-satunya teman Ibu yang kukenali dulu sebelum pulang ke rumah.
Teman Ibu, bu Marta namanya, adalah seorang guru honorer yang mengabdikan hidupnya berpuluh tahun di sekolah negeri. Dia tidak menikah dan menjadi satu-satunya teman sekolah Ibu yang masih berhubungan dengan Ibu sampai setidaknya aku sedewasa sekarang. Dari mana aku tahu semua itu, tentu saja dari kedua belah pihak secara langsung.
Ibu pernah membawaku sekali ke sana, saat aku baru tamat SMA.
"Ibumu di dalam," kata bu Marta saat kutanyai.
Aku, si anak masa bodoh ini, menemukan Ibu.
***
Sejujurnya aku agak terkejut. Bukan karena rumah bu Marta yang tidak berubah sejak sembilan tahun silam, tetapi karena firasat asalku terbukti benar. Padahal---kuingatkan sekali lagi---aku tidak memiliki kesamaan dengan Ibu yang membuat kami bisa saling terhubung apalagi mengerti perasaan masing-masing.