Mohon tunggu...
Heru Jast
Heru Jast Mohon Tunggu... lainnya -

berharaplah yang terbaik dan nantikan yang terburuk..

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jangan Paksa Kami untuk Pintar

16 April 2014   17:02 Diperbarui: 1 April 2017   09:07 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="'"][/caption]

Masa-masa indah anak SMA perlahan berubah menjadi masa-masa yang paling menjemukan saat kami duduk dikelas XII. Saat kami harus lebih banyak belajar daripada bermain yang mungkin tidak penting. Dari pagi ketika kami membuka mata, hingga mata kami kembali terpejam ditengah malam karena terlalu lelah dangan kata-kata, dengan angka-angka bahkan dengan rumus-rumus yang harus kami hafal secara detail untuk menghadai Ujian Nasional diakhir tahun. Standar kelulusan UN yang mengharuskan kami untuk belajar lebih dari biasanya. Dibandingkan saat kami masih kelas XI atau kelas X. Tidak boleh lagi ada waktu untuk bermain, tidak boleh ada lagi waktu untuk bersantai, atau sekedar berkumpul bersama teman-teman ditempat biasa.

Entah standar kelulusan yang terlalu tinggi atau kami yang terlalu takut untuk menghadapinya. Bapak ibu guru yang terlalu khawatir atau orang tua yang terlalu berlebihan menyikapi standar kelulusan UN. Yang pasti bapak ibu guru di sekolah menginginkan kami melupakan semuanya, kecuali belajar. Supaya kami lebih bisa berkonsentrasi dan nantinya bisa lulus UN dengan nilai terbaik. Orang tua yang ketakutan anaknya tidak lulus UN juga menginginkan anaknya untuk mengikuti les tambahan. Entah karena mereka memang tahu yang terbaik buat anaknya. Supaya anaknya pintar atau sekedar menjaga gengsi karena anak tetangga rumah juga mengikuti les tambahan. Mungkin bisa menjadi suatu kebanggaan jika anak kesayangannya mendapatkan nilai terbaik di sekolah.

Entah secara sadar atau terpaksa, temen-temen banyak yang mengikutinya. Mulai dari les privat di tempat guru mapel sampai ke tempat bimbingan belajar yang lebih mentereng. Karena takut tidak lulus atau sekedar pengen seperti temen-temennya yang lain. Atau sekedar biar kelihatan keren karena jadwal les tambahan. Sekedar bisa ketemu dengan siswa-siswa dari sekolah lain bisa saja jadi alasan mereka. Cari teman baru atau malah sekalian berharap dapat pacar disana.

Ujian Nasional diakhir tahun seperti menjadi momok bagi insan pendidikan, bagi siswa, guru, bahkan orang tua yang tak mungkin bisa menolak jika berbicara tentang anaknya yang sudah kelas XII. Masa-masa sekolah yang paling indah rasanya harus sejanak dilupakan karena Ujian Nasional. Cerita cinta diusia muda yang memberi warna tersendiri mungkin juga harus ditinggalkan. Alasannya sih sederhana, jangan sampai galau karena mikirin si doi. Bisa-bisa pikiran yang seharusnya fokus buat Ujian Nasional malah terganggu karena  masalah asmara. Entah karena lupa sms atau sekedar si doi gak perhatian. Jadi ribut sendiri karena curiga nunggu si doi gak juga bales sms. Status facebook yang dibuat untuk si doipun juga diabaikan. Gak ada komentar atau sekedar ngasih jempol yang bisa membuat sedikit tersenyum. Parahnya lagi sampai gak mau makan hanya gara-gara mikirin si doi. Dan akhirnya harus putus karena alasan ingin fokus ujian. Gak peduli mau bertambah baik atau malah justru semakin parah keadaannya.

Mungkin bagi kami itu konyol, tapi itu hak mereka yang harus bisa kami mengerti. Perbedaan yang seharusnya tidak menjadikan kami saling memaki. Perbedaan yang seharusnya tidak membuat kami saling berdebat untuk mencari siapa yang paling pintar dan siapa yang paling bodoh. siapa yang paling dewasa atau siapa yang kekanak-kanankan. Kami sadar cinta tak bisa diprediksi. Kami bisa saja bernasib seperti mereka. Merasakan patah hati yang membuat kami bisa saja menangis.

Cuma satu hal yang tidak bisa kami mengerti. Bahkan untuk menerimapun mungkin kami tak akan pernah bisa. Tidak boleh ada lagi siswa kelas XII yang mengikuti ekskul. Tidak boleh ada lagi cerita tentang bermain bola. Kemenangan, kekalahan, siapa yang mencetak gol yang menjadi kebanggan kami harus dilupakan karena alasan Ujian Nasional.

Seperti mimpi disiang bolong, tak bisa diterima. Bermain bola yang menjadikan kami belajar arti sebuah perjuangan, kebersamaan, kerja keras dan arti keringat yang terbuang untuk meraih sebuah kemenangan. Bermain bola yang menjadikan kami belajar tanggung jawab, belajar menghargai teman dan belajar menerima sebuah kekalahan harus terhenti. Kekalahan yang mengajari kami untuk tidak rendah diri dan pantang menyerah. keterbatasan yang mengajari kami untuk senantiasa berbagi dan peduli. Kemenangan yang mengajari kami untuk tetap rendah hati dan tidak berpuas diri. nilai-nilai yang mungkin hanya bisa kami dapatkan dilapangan saat bermain bola. Bukankah belajar itu universal. Selama kita punya prioritas mana yang harus didahulukan rasanya tidak ada alasan kenapa kami harus dilarang bermain bola.

Kami adalah siswa-siswa yang terlanjur mencintai bermain bola. Bukan hanya itu, kami juga punya obsesi dan cita-cita yang sama terhadap pilihan kami. Cita-cita yang kami bangun semenjak kami duduk dikelas X. Meski kini kami berbeda kelas bukan berarti kami kehilangan semuanya. Kebersamaan yang selalu kami jaga hingga sekarang. Kami boleh berbeda jurusan tapi itu tidak membedakan mimpi kami dalam bermain bola. Aku, Yoga dan Apri dijurusan IPS sementara Ibnu, Fauzan, Aer, Rici dan Zain dikelas IPA.

Kami tidak ingin gagal di ujian nasional, tapi kami juga tidak mungkin bisa berhenti bermain bola. kami tidak ingin bodoh tapi kami juga tidak ingin kehilangan salah satu mimpi kami. Kami boleh saja gagal berkali-kali tapi menyerah sekali sama saja kami membunuh mimpi kami sendiri. Kami sudah berusaha mewujudkan sewaktu kami masih kelas X dan XI. Sampai kami berada dikelas XII impian itu belum terwujud. Apakah kami harus berhenti sampai disini.

Setiap harinya kami harus berpacu dengan waktu. Mengikuti pelajaran dari menit pertama sampai bel pulang sekolah. Mungkin waktu istirahat adalah waktu yang paling berharga. Waktu yang singkat untuk merefresh otak kami yang dipaksa seperti mesin untuk terus bekerja dan berpikir.

"Bosen setiap hari kaya gini,kalian bosen gak sih?" Pertanyaan ibnu mengawali perbincangan kami siang itu. Ketika kami menunggu pesanan minuman dikantin pak slamet saat jam istirahat pertama.

"iya nih bosen banget, kepala rasanya mau pecah. Setiap hari ketemunya rumus melulu atau angka-angka kering yang membuat otak jadi keriting. Matematikalah, Kimialah, Fisikalah, belum lagi mesti harus ngafalin peta konsep dari bu indah. sahut rici

"Iya nih, tapi udahlah, jalani aja. Namanya juga siswa kelas XII dimana-mana mungkin sama juga kaya kita" Yoga sok bijak menjawab keluhan dari mereka.

"Apaan ga, kamu enak, anak IPS gak banyak mikir, alfred sama apri juga tu. Kalian bertiga gak tahu bagaimana susahnya jadi anak IPA. Celoteh zain bikin suasana semakin ramai.

Apri langsung nyolot gak terima dengan pernyataan zain "enak aja anak IPS gak banyak mikir, sama juga kali. kalau udah ketemu pelajaran yang namanya matematika bawaanya stress pengen kabur dari kelas. lari sejauh mungkin sambil teriak. Lagian kenapa juga dulu kalian milih masuk IPA. kalau memang otak kalian gak mampu, ya gak"

"Biar masuk jajaran siswa paling pintar kali disekolah hahaha" Yoga menambahi sambil tertawa tapi tak berhenti.

"kita mah santai, udah terbiasa dengan nilai-nilai kritis alias mepet KKM, lha kalian kan enggak"

"Udah-udah mending kita minum aja tuh, es pesenan kita udah datang. Biar jadi dingin otak kalian semua"

Aku mencoba mendinginkan situasi yang sudah mulai memanas diantara kami. Walaupun cuma bercanda bisa repot nih kalo sampai ada yang ngambek. maklumlah temen kami satunya yang bernama Aer kan paling kutu buku diantara kami. Rajinnya minta ampun kalo dikelas. Siswa kesayangannya ibu indah yang daritadi cuma diam aja gak ngomong apa-apa. Bahaya kalo sampai dia nyolot. Bisa-bisa muka salah satu diantara kami dilempar pake buku biologi yang dia bawa. Tapi jangan salah meskipun dia paling kutu buku diantara kami, bukan berarti dia gak jago main bola. Mukaku aja pernah sekali ngerasain panasnya kena bola tendangan dari kakinya.

'Entar sore main futsal aja yukk, biar anak-anak IPA ini gak pada stres, hahaha"

Pakkkkk...gorengan mendarat tepat dimuka apri, sindiran apri bikin rici sedikit naik darah. Sontak kami semua tertawa karena kekonyolan mereka berdua. Siswa lain yang saat itu juga sedang makan tak ketinggalan ikut tertawa.

"Sekali lagi, sepatu yang melayang ke mukamu" Bentak rici setelah kami semua terdiam dari tertawa yang membuat kami sedikit menahan sakit perut.

"Tapi, ide bagus lho itu. Lagian kita juga udah lama gak main futsal" Fauzan berusaha membela.

"Oke, nanti jam empat sore ya. Biar nanti aku yang memesan lapangannya."

Akhirnya kami semua sepakat untuk bermain futsal nanti sore. Mengajak temen-teman kami yang lain juga tentunya. Bel masuk sudah berbunyi kami harus segera menyudahi canda dan tawa kami sejenak. secepat mungkin kami harus segera kembali ke kelas masing- masing. sebelum dimarahi karena kalah cepat dengan guru mata pelajaran saat itu. Atau disuruh push up didepan kelas sebelum kamu diperbolehkan duduk dimeja kami.

"Sudah pak, semua yang bayar apri" Rici menyampaikan itu kepada pak slamet dan mengajak kami kembali kekelas, kecuali apri yang dikerjain harus membayar semua jajanan kami tadi.

"Woyy apa-apaan ini, lagi bokek ni gue" ah urusan loe itu pri. Jawab rici singkat kemudian mengajak kami semua berlari meninggalkan apri.

Sore harinya kami semua sudah dilapangan futsal disebelah barat tugu batas kota. Waktu yang sudah kami tunggu bersama untuk segera beraksi. Teman-teman yang lain begitu bersemangat. Fauzan terlihat memakai sepatu futsal yang baru. Rici tidak ketinggalan dengan jersey baru klub sepakbola arsenal kesayangannya. Apri dengan kaos tim Juventus favoritnya. Hampir semuanya lengkap, hanya aer yang belum terlihat diantara kami.

"Ci, Aer mana, tau gak" aku bertanya pada rici ketika memberikan bola kepadanya saat kami sedang pemanasan dengan umpan-umpan bola santai.

Sambil menendang kearah apri rici menjawab " Gak tahu, katanya sih tadi gak bisa soalnya gak diijinin sama bapak ibunya"

"Kenapa emangnya kok gak boleh" tanyaku lagi kepada rici

"Katanya sich selama belum Ujian Nasional, Aer gak boleh main harus belajar dan les tambahan, biar lebih pintar dan nantinya lulus Ujian Nasional dengan nilai yang baik"

"oww, yaudahlah,kita mulai aja sekarang" jawabku singkat kemudian mengajak teman-teman yang lain untuk segera memulai permainan futsal.

Satu jam kami bermain, rasanya lelah sekali kami hari itu. Kaki-kaki kami terasa kaku sekali,banyak umpan yang salah dan tendangan yang kurang akurat. Sudah beberapa bulan semenjak kami naik kekelas XII belum pernah bermain lagi.

Setelah lelah bermain bola biasanya kami berlanjut nongkrong di kota. Di tempat sugaran di depan grand cokro. Susu segar tetap menjadi salah satu minuman favorit kami setelah bermain. Tempat yang sangat sederhana untuk sebuah kebersamaan yang luar biasa. Canda tawa, celotehan, banyolan sampai sindiran membuat suasana malam semakin ramai. Kami mengenal satu sama lain lebih dari sekedar teman. Walau terkadang ada sedikit perdebatan tapi itu adalah seni dalam sebuah persahabatan. Kita tidak mungkin selalu sependampat justru perbedaaanlah yang mengajari kami untuk saling menghargai, saling mengerti dan memahami.

"Harus ya sebagai siswa itu kita harus pintar" akhirnya kekeluarkan juga uneg-uneg yang dari tadi kupendam sejak dilapangan. Ketika aku tahu kalo Aer tidak boleh main futsal karena dilarang oleh orang tuanya untuk fokus belajar. Mungkin akan menjadi topik perbincangan yang sangat menarik. seperti yang biasa kami lakukan ketika berkumpul. Selalu saja ada tema yang bisa kami bicarakan dan perdebatkan.

"Sebentar-sebantar mungkin akan lebih ramai kalo debatnya kita bagi, anak IPA lawan anak IPS. empat anak IPA melawan tiga anak IPS, gimana setuju gak" apri coba memberi ide.

"Aku setuju" rici berkata sambil mengambil cemilan didepan kami.

"Menurutku, sebagai siswa kita memang harus pintar supaya orang tua dan bapak ibu guru kita bangga" Fauzan menyampaikan pendapatnya sambil menunjuk kearah Yoga.

"Buktinya kita pintar dengan apa" kata yoga membalas pernyataan dari fauzan sambil menyeruput susu segar yang ada didepannya.

Zain coba membantu fauzan "dengan nilai dong, kan nilai bisa menjelaskan bagaimana kita dan bukankah setiap semester kita diberikan raport untuk tahu seberapa berhasil kita belajar, jadi menurutku nilailah yang satandar kepintaran kita"

"Wah berarti kalo begitu, anak-anak IPA lebih pintar dong daripada anak IPS, kan nilai kalian baik-baik semua tu, sementara anak IPS tuntas KKM aja udah cukup" kata apri sambil menunjuk kearah ibnu yang dari tadi makan kacang kulit rebus.

"Betul sekali pri, hehe" jawaban dari ibnu singkat sambil ketawa dan tetap menikmati kacang kulit yang terlihat sangat nikmat sekali.

"Ya, kalian memang pintar", Kataku.

"Tapi apakah keberhasilan anak sekolah hanyalah semata-mata untuk menjadi pintar, Adakan yang lebih dari itu, berkembang!"

"Maksudnya berkembang fred" rici bertanya padaku, nampak heran dari raut wajahnya mendengar pernyataanku.

"Jadi gini apa gunanya kita pintar kalo kita tidak memberdayakan pola pikir kita untuk hal-hal yang lain diluar pelajaran. jadi bukan hanya sebatas pintar dalam hal mengerjakan soal pelajaran tapi juga harus memiliki karakter yang kuat. ketika kita tidak pintar soal matematika kita bisa mengisinya dengan pelajaran yang lain yang menurut kita mampu. tapi kalo kita gak punya karakter apa itu bisa diganti. misalnya kita gak punya keberanian apa bisa keberanian diganti dengan kedisiplinan tingkat tinggi sekalipun, bedakan. jadi menurutku pengembangan karakter lebih diutamakan daripada kepintaran yang dinilai raport."

"Habis makan apa kamu fred,haha" tanya fauzan, sambil ketawa

"Mau makan apa itu gak penting hehehe, yang terpenting bagaimana caranya kita harus menggali apa yang ada dalam diri kita sendiri, kekurangan dan kelebihan kita sendiri, bukan hanya belajar tentang pelajaran tapi juga yang lain"

"Jadi kami gak masalah menjadi siswa yang bodoh tapi satu hal kalian anak- aanak IPA harus belajar nyali dan kebersamaan dari kami anak-anak IPS. kata apri, menambah penjelasanku. mungkin dia juga sangat paham dengan penjelasanku.

"Nyali apa, bolos maksudnya. Dasar kalian aja yang pemalas" Ibnu membalas sedikit meledek.

"Bukan hanya itu, kami kan sering dihukum nah mental kami terbentuk karena belajar dari hukuman itu. sementara kalian terlalu disiplin jarang dihukum. Ya baik sih disiplin asal jangan terpaksa demi nilai aja kalian mau disiplin, dibelakang ngeluh hehe"

Kata-kata dari apri menutup perpincangan kami waktu itu. karena waktu sudah larut malam tanpa terasa. udara dingin mulai menusuk kulit kami yang sudah kering dari sisa-sisa keringat setelah bermain futsal tadi. sduah waktunya kami mengakhiri cerita malam ituuntuk segera kembali keruma kami masing-masing.

Terkadang kami gak bisa mengerti kenapa orang tua kami begitu menginginkan kami menjadi anak yang pintar. Sekolah dengan nilai yang terbaik. Mungkin mereka bangga jika kami semua terlahir sebagai anak-anak yang pintar. Tapi terkadang mereka tidak bisa mengerti bahwa sebenarnya otak kami tidak mampu. Otak kami tidak bisa dipaksa untuk menjadi pintar. Kami punya kelebihan dan kekurangan yang sebenarnya harus dikembangkan. Menggali potensi-potensi terbaik kami, atau lebih tepatnya mengenal diri kami sendiri. Standar kepintaran yang membuat kami seperti tersudut karena kebodohan dan ketidakmampuan kami berpikir.

Di sekolahpun tidak jauh berbeda. Guru-guru lebih suka melihat kami belajar dengan rajin. Mereka lebih suka melihat siswa-siswa yang pintar dan berprestasi. Mereka lebih suka melihat siswa-siswa yang mudah menerima pelajaran yang disampaikan. Sementara kami yang tidak pernah bisa atau takkan pernah mampu menjadi pintar sedikit diabaikan karena menganggap kami sebagai siswa-siswa yang malas dan nakal. Tugas dari hari kehari juga gak pernah berhenti demi penguasaan materi. Kami seperti dipaksa untuk menjadi anak-anak yang pintar.

Apakah kami harus menyesali kebodohan kami. Apakah semua anak harus terlahir manjadi anak yang pintar. Mustahil rasanya jika semua anak sekolah terlahir untuk menjadi anak yang pintar. Tak ada siswa yang pintar jika tidak ada siswa yang bodoh. Bukankah perbedaan itu yang menjadi sebuah perbandingan,untuk menilai siapa yang bodoh dan siapa yang pintar. lalu kenapa kami harus dipermasalahkan karena kebodohan kami. Kenapa kami harus dibenci karena kenakalan dan kekurangan kami.

Jangan pernah meragukan kami karena kebodohan dan ketidakmampuan kami. Setiap yang bodoh tidak terlahir tanpa kelebihan. Kami sadar, kami harus terus berkembang.Bukan hanya belajar tentang pelajaran tapi juga belajar tentang masalah-masalah yang mungkin bisa mendewasakan kami. melakukan hal lain dari apa yang kami sukai.

Penulis

Heru Jast

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun