Pria Yang Merindukan Prostatnya
Karya Heri Haliling
Tiga bulan sejak semua romansa itu serasa kecut bahkan menjadi pahit. Siang itu baru saja semua pil menyiksa dari dokter telah berjejalan di kerongkonganku. Sementara di meja ruang kerja ini surat hasil lab dan catatan dokter masih menghambur kumal berantakan. Sebenarnya istriku kerap melipat rapi hasil lab itu ke amplopnya. Tapi pikiranku yang tak terima berharap ada mukzizat dan kembali konyol membuka hanya untuk menggumpal-gumpalnya lagi. Otakku kusut dan emosiku kerap meledak-ledak. Hal yang terbayang kini hanyalah penghinaan dan kehancuran.
"Mas, ini kopimu"
Aku tak gubris dia. Sekilas ku perhatikan wajahnya nampak kuyu. Mungkin mengurusku merepotkan dia. Ya itu pasti. Tapi wajahnya munafik dengan senyum seolah tulus.Â
Sumpah aku mulai dikasihani seperti orang cacat. Nyatanya harus ku akui memang benar adanya. Aku yang duduk terpekur hanya meringis dan sesekali mengejan merasakan ngilu yang begitu sangat di area selangkangan.
Zubaidah, istriku yang sedari tadi berdiri lantas menghadapku. Dia berjongkok. Kedua tangannya menempel di dengkulku. Matanya berkaca peduli. Sedikit tangis singgah di sana. Akh!!! Dalam situasi ini pria mana yang bakal percaya dengan tangisan perempuan?Â
"Mas, ada kabar gembira. Ku harap hal ini membuatmu kuat dan bersemangat saat menghadapi operasi nanti."
Aku menepis pandang.
"Aku hamil 10 minggu, Mas?" tukasnya sumringah penuh harap.
"Hamil?!!" Aku tercekat. Dia mengangguk gemas.
Perubahan mimik sekejap memusat pada wajahku yang kini terasa merah terbakar. Melalui mata membelalak aku menyambung "Aku penderita prostat, Zubaidah!!!!! Kau kira aku tolol, hah!!!!" bentakku sambil menyibak kopi. Gelas terlempar menghantam lantai lalu pecah. Zubaidah tentu terperanjat dan mundur sejenak. Tapi cepat dia memberanikan diri dengan mendekat dan memegang tanganku.
"Tenang, Mas" katanya sedikit menyesal atas respon dariku. Ku tampik tangannya. Mataku kini berkobar, ku rasakan guruh menyambari dadaku.
"Jahanam mana lagi yang kau kangkangi Zubaidah!! Jahanam mana?"
Zubaidah bersimpuh memohon ampun. Aku undurkan kaki. Gerakanku ini sungguh membuat nyeri yang bertumpuk-tumpuk. Keringat mengerumun membanjiri wajah. Aku nyengir kesakitan, tapi harga diriku bagai morfin yang enyahkan luka.Â
"Empat tahun aku kawin denganmu. Ku angkat kau dari warung hina di sana! Ku bilas lembaran buram hidupmu. Kau berjanji berubah. Kini kau ingkari sendiri, Zubaidah! Apa rumah dan kecukupan ini tak mampu beli setiamu barang untuk urus aku, Plak!!"
Satu tamparan mendarat di pipi kirinya yang pucat. Zubaidah terdorong mengelus pipinya. Bodohnya istriku itu bukan menjauh malah kini seperti memasang badan hanya untuk kemurkaanku.
"Jika itu bisa tenangkanmu, aku ikhlas Mas. Tapi sungguh aku mohon, kembalilah seperti dulu. Ini ujian kita. Percaya Mas, kasih Tuhan tak akan beri ujian di luar kemampuannya."
"Dua minggu lagi aku operasi, Zubaidah. Aku pun tak tahu bakal hidup atau mati setelah itu. Dan detik ini kau beri informasi yang sukar ku terima. Oh Tuhan matikan saja aku sekarang."
Zubaidah memelukku. Di rumah yang hanya kami berdua tinggal ini udara menguap dan mengembang. Dalam depresi pikiran karena akan menjadi beban seumuran, kutantang saja dia sekalian.
"Non Ivansive Prenatal Testing (NIPT), sore ini segera kau ke rumah sakit. Ambil sampel darah. Kita cek DNA bayi itu!"
Zubaidah menghela napas. Kurasakan denyut urat leher dan embusan itu menerjang telingaku.
"Ku lakukan sebagai bukti baktiku padamu, Mas."
***
Hari berlalu berkumpul menjadi Minggu, sesuai prosedur dari rumah sakit tempat aku akan operasi bahwa untuk menunggu hasil sampel darah istriku diperlukan waktu 14 hari. Masa itu berarti akan bertepatan pula dengan tindakan operasi untukku. Dan di sinilah aku sekarang, sebuah kamar bercat putih bertirai hijau dengan bau pengharum ruangan yang sekilas ku cium bercampur obat dan alkohol. Aku terbaring di bangsal pesakitan di temani Zubaidah yang makin buncit perutnya. Puasa telah ku laksanakan malam tadi. Infus juga kini telah dipasang di lenganku. Kata dr. Cahyo beberapa menit lalu bahwa kondisiku cukup vit dan siap. Aku diminta positif pikir. Tapi kecemasan karena hal-hal negatif pasca operasi mengobrak-abrik keteguhanku. Sementara jam dinding di atas pintu kamar itu, duh gusti sungguh detikannya sangat merajam kalbu.
Merasakan tekananku, Zubaidah dengan mata sayu dan wajah kelelahan meremat tanganku. Entahlah perasaan apa yang ku alami sekarang. Aku benci akui ini dan terus ku tutupi dengan pikiran tak setia istriku. Hanya saja tak bisa ku pungkiri adanya dia di sisiku merupakan candu yang secara reflek terasa teduh.
Ceklek!
Pintu ruangan dibuka seseorang. Tiga pria yang ku kenal salah satunya adalah dr. Cahyo bersama dua perawat di belakangnya masuk. Mengenakan masker dan seragam hijau polos dengan tutup kepala, dr. Cahyo mendekat. Cengkraman tanganku makin erat. Jantungku berdegup hebat.
"Maafkan Mas, Zubaidah. Selama dosaku yang harus kau tanggung ini aku malah berbuat kasar."
Zubaidah tersenyum sambil menyemai rambutku. Terasa hangat. Setitik air mata luruh mengerlipkan mataku. Zubaidah segera usap bulir air hangat itu.
"Bukan, Mas. Bukan itu, sungguh" ujarnya menarik udara dari hidungnya yang basah "hari ini aku sungguh haru. Terima kasih, Mas. Kau telah kembali lagi."
"Apakah Anda istri Tuan Syamsiar?" tanya dokter datar.
Zubaidah membalik badannya.
"Benar, dok?"
Sang dokter lalu meminta Zubaidah untuk membeli perlengkapan pasien di market lantai dasar. Zubaidah segera bergegas sementara aku telah dibopong ke kursi roda untuk menuju ruang operasi.
***
Aku telah mengenakan baju setengah terbuka khususnya bagian punggung, dr. Cahyo lalu memintaku untuk berbaring dalam posisi miring dan lutut ditekuk menyentuh dada. Tak lama kurasakan efek kejut beriring nyeri pegal dan sakit teramat sangat manakala sebuah benda yang ku yakini jarum menusuk dalam sampai menyentuh semacam kelenjar di antara tulang punggungku yang renggang. Aku meringis menahan hingga bergetar sekujur tubuh. Sekonyong-konyong cairan bius spinal masuk dan makin berat tak tertahankan. Usai ini aku yakin setengah tubuhku bakal mati rasa.
"Sudah, Pak. Sekarang terlentang" tukas dr. Cahyo bersamaan dengan kesigapan beberapa perawat yang memasangkan kateter.
Sesaat aku merasakan rileksasi di antara setengah tubuhku yang mulai katur. Ku pandangi jam dinding, tepat jam 2 siang.
Ceklek..Tiba-tiba Zubaidah datang membawakan popok, selimut, dan minyak angin. Aku heran, apakah orang luar boleh masuk. Seolah paham dengan air wajahku, dr. Cahyo bilang "Tidak apa-apa, Pak. Keluarga dari pasien diperlukan untuk memberi semangat dan agar Anda tidak tidur. Maka makin semangatlah aku manakala hari berat ini kulalui bercengkrama dengan dia. Kami tersenyum dan tanganku mulai menerima keberadaan janin haram di perutnya. Aku meyakini mungkin itu adalah hadiah terindah di tahun baru nanti.
***
Kisaran tiga jam aku di ruangan itu. Aku merasa limbung dan sangat lemah. Keluar ruangan beberapa gumam-gumam ku dengar. Tak begitu jelas. Keluarga? Ini rahasia kami. Apakah istriku yang beritahu mereka? Ah, sudahlah. Bangsal ku rasakan berhenti. Sekitar 15 menit pandanganku mulai enakan. Benar saja, keluargaku berkumpul. Ibuku lalu menanyakan tentang sebuah kesadaran. Aku mengangguk. Mereka tersenyum bercampur menangis.
"Kita di ruang ICU, Syamsiar. Tadi kau kritis. Aku tak tahu harus bagaimana menyikapi ini" ungkap ibuku menangis bertambah isak. Ayah dan adik laki-lakiku pun tampak tersandar dengan pandangan kosong menghantam lantai.Â
"Aku baik-baik saja, sungguh" kataku penuh keyakinan, "ngomong-ngomong Zubaidah kemana?"
Tiba-tiba tanpa sebuah kode, ibuku langsung ambruk tak sadarkan diri. Ayah dan adikku segera mengangkat dan berteriak memanggil suster. Aku tercekat heran dalam kebingungan. Suster datang tergesa-gesa. Makin gelisah, ku tanyakan Zubaidah kepadanya.
"Jatuh dari tangga rumah sakit!! Keguguran!! Kritis!!!" sentaku tak percaya. Aku memberontak ingin berjalan memastikan. Para suster kalut makin berdatangan. Ayah memeluk leherku. Mencoba berbicara lembut agar aku stabil. Tiba-tiba nyeri menusuk kembali. Aku mengaduh dan dengan frustasi akhirnya aku mengemis agar bangsal ini bisa didorong dekat dengan ruangan Zubaidah.
***
Ternyata ruangan Zubaidah hanya dibatasi tirai-tirai. Masih dalam ruangan yang sama, ku perhatikan dr. Cahyo dan keluarga istriku berkumpul. Sungguh hatiku porak poranda tanpa daya dengan lelehan air mata mengutuki diri sendiri. Melalui pembaringan pesakitan ini mataku menangkap wajah Zubaidah dihinggapi legam membiru yang sebagian telah diperban. Napasnya rendah sesuai alunan mesin jantung. Perutnya kempis dan sekujur tubuhnya dibelit selang ifus yang masih bercampur darah bekas tranfusi.
Dokter Cahyo mengatakan adanya resistensi sel golongan darah saat ditransfusikan. Hal ini dapat dipicu dari tekanan batin yang begitu kuat serta kecemasan pikiran. Kembali aku menyumpahi diriku. Manusia laknat yang tanpa belas kasihan. Mertua perempuan segera menyapaku dengan rauangan. Dia berusaha kuatkan aku. Padahal aku sungguh tahu bahwa hatinya jauh luluh lantak ketimbang aku.
"Kapan kejadian ini, Bu?" tanyaku lirih.
"Kata dokter jam 2 siang."
Keningku terangkat. Aku menampik jawaban itu. Tak mungkin. Batinku protes. Aku sangat sadar tentang kebohongan ini. Selanjutnya sebagai wujud pelampiasanku antara sesak, ledakan, dan berserak aku sergah dr. Cahyo.
"Mana mungkin, Pak? Ruang operasi wajib steril. Mustahil ada orang yang diperbolehkan menemani pasien saat operasi" kilahnya yang sarat pengalaman.
Aku merutuk terus. Semua orang bingung dengan tetap terisak-isak. Ibuku yang sudah siuman memintaku untuk istigfar. Merasa semakin kacau, dr. Cahyo kemudian memastikan bahwa mungkin halusinasi itu datang dari reaksi obat bius. Dirinya lalu mengambil lipatan kertas dari sakunya. Dokter Cahyo bilang catatan lab ini ditemukan dekat dengan posisi Zubaidah jatuh. Bergetar, aku raih catatan yang merupakan laporan chek up DNA istriku. Sebuah tulisan cukup besar berwarna merah untuk kesekian kalinya menjungkalkan diriku kedalam sesal yang kental, 'POSITIF'.
Aku menggigil dalam pembaringan. Aku menyesal atas kondisiku sekarang. Hatiku berteriak memohon pada Tuhan untuk kembalikan penyakit itu. Dalam ketidakterimaan, aku gigih untuk coba bangun. Aku berharap bisa memeluk Zubaidah dan mencium keningnya. Tak peduli sakitnya. Cairan merah mulai merembes dari perban juga kateter. Sumpah ku tak peduli. Semua cemas denganku. Akan tetapi tiba-tiba mata kami berpindah ke tubuh Zubaidah yang diam pucat. Sebuah dengkuran ringan disusul garis panjang layar detak jantung merebangkan lara dalam kamar ini.
***Selesai****
TENTANG PENULIS
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya yang telah ia telurkan antara lain:
Novel Perempuan Penjemput Subuh (PT Aksara Pustaka Media, 2024)
 Novlet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024)
Nama FB : Heri Surahman
IG : Heri_Haliling
Email : heri.surahman17@gmail.com
No Wa : 083104239389
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H