Zubaidah menghela napas. Kurasakan denyut urat leher dan embusan itu menerjang telingaku.
"Ku lakukan sebagai bukti baktiku padamu, Mas."
***
Hari berlalu berkumpul menjadi Minggu, sesuai prosedur dari rumah sakit tempat aku akan operasi bahwa untuk menunggu hasil sampel darah istriku diperlukan waktu 14 hari. Masa itu berarti akan bertepatan pula dengan tindakan operasi untukku. Dan di sinilah aku sekarang, sebuah kamar bercat putih bertirai hijau dengan bau pengharum ruangan yang sekilas ku cium bercampur obat dan alkohol. Aku terbaring di bangsal pesakitan di temani Zubaidah yang makin buncit perutnya. Puasa telah ku laksanakan malam tadi. Infus juga kini telah dipasang di lenganku. Kata dr. Cahyo beberapa menit lalu bahwa kondisiku cukup vit dan siap. Aku diminta positif pikir. Tapi kecemasan karena hal-hal negatif pasca operasi mengobrak-abrik keteguhanku. Sementara jam dinding di atas pintu kamar itu, duh gusti sungguh detikannya sangat merajam kalbu.
Merasakan tekananku, Zubaidah dengan mata sayu dan wajah kelelahan meremat tanganku. Entahlah perasaan apa yang ku alami sekarang. Aku benci akui ini dan terus ku tutupi dengan pikiran tak setia istriku. Hanya saja tak bisa ku pungkiri adanya dia di sisiku merupakan candu yang secara reflek terasa teduh.
Ceklek!
Pintu ruangan dibuka seseorang. Tiga pria yang ku kenal salah satunya adalah dr. Cahyo bersama dua perawat di belakangnya masuk. Mengenakan masker dan seragam hijau polos dengan tutup kepala, dr. Cahyo mendekat. Cengkraman tanganku makin erat. Jantungku berdegup hebat.
"Maafkan Mas, Zubaidah. Selama dosaku yang harus kau tanggung ini aku malah berbuat kasar."
Zubaidah tersenyum sambil menyemai rambutku. Terasa hangat. Setitik air mata luruh mengerlipkan mataku. Zubaidah segera usap bulir air hangat itu.
"Bukan, Mas. Bukan itu, sungguh" ujarnya menarik udara dari hidungnya yang basah "hari ini aku sungguh haru. Terima kasih, Mas. Kau telah kembali lagi."
"Apakah Anda istri Tuan Syamsiar?" tanya dokter datar.