Zubaidah membalik badannya.
"Benar, dok?"
Sang dokter lalu meminta Zubaidah untuk membeli perlengkapan pasien di market lantai dasar. Zubaidah segera bergegas sementara aku telah dibopong ke kursi roda untuk menuju ruang operasi.
***
Aku telah mengenakan baju setengah terbuka khususnya bagian punggung, dr. Cahyo lalu memintaku untuk berbaring dalam posisi miring dan lutut ditekuk menyentuh dada. Tak lama kurasakan efek kejut beriring nyeri pegal dan sakit teramat sangat manakala sebuah benda yang ku yakini jarum menusuk dalam sampai menyentuh semacam kelenjar di antara tulang punggungku yang renggang. Aku meringis menahan hingga bergetar sekujur tubuh. Sekonyong-konyong cairan bius spinal masuk dan makin berat tak tertahankan. Usai ini aku yakin setengah tubuhku bakal mati rasa.
"Sudah, Pak. Sekarang terlentang" tukas dr. Cahyo bersamaan dengan kesigapan beberapa perawat yang memasangkan kateter.
Sesaat aku merasakan rileksasi di antara setengah tubuhku yang mulai katur. Ku pandangi jam dinding, tepat jam 2 siang.
Ceklek..Tiba-tiba Zubaidah datang membawakan popok, selimut, dan minyak angin. Aku heran, apakah orang luar boleh masuk. Seolah paham dengan air wajahku, dr. Cahyo bilang "Tidak apa-apa, Pak. Keluarga dari pasien diperlukan untuk memberi semangat dan agar Anda tidak tidur. Maka makin semangatlah aku manakala hari berat ini kulalui bercengkrama dengan dia. Kami tersenyum dan tanganku mulai menerima keberadaan janin haram di perutnya. Aku meyakini mungkin itu adalah hadiah terindah di tahun baru nanti.
***
Kisaran tiga jam aku di ruangan itu. Aku merasa limbung dan sangat lemah. Keluar ruangan beberapa gumam-gumam ku dengar. Tak begitu jelas. Keluarga? Ini rahasia kami. Apakah istriku yang beritahu mereka? Ah, sudahlah. Bangsal ku rasakan berhenti. Sekitar 15 menit pandanganku mulai enakan. Benar saja, keluargaku berkumpul. Ibuku lalu menanyakan tentang sebuah kesadaran. Aku mengangguk. Mereka tersenyum bercampur menangis.
"Kita di ruang ICU, Syamsiar. Tadi kau kritis. Aku tak tahu harus bagaimana menyikapi ini" ungkap ibuku menangis bertambah isak. Ayah dan adik laki-lakiku pun tampak tersandar dengan pandangan kosong menghantam lantai.Â