"Aku baik-baik saja, sungguh" kataku penuh keyakinan, "ngomong-ngomong Zubaidah kemana?"
Tiba-tiba tanpa sebuah kode, ibuku langsung ambruk tak sadarkan diri. Ayah dan adikku segera mengangkat dan berteriak memanggil suster. Aku tercekat heran dalam kebingungan. Suster datang tergesa-gesa. Makin gelisah, ku tanyakan Zubaidah kepadanya.
"Jatuh dari tangga rumah sakit!! Keguguran!! Kritis!!!" sentaku tak percaya. Aku memberontak ingin berjalan memastikan. Para suster kalut makin berdatangan. Ayah memeluk leherku. Mencoba berbicara lembut agar aku stabil. Tiba-tiba nyeri menusuk kembali. Aku mengaduh dan dengan frustasi akhirnya aku mengemis agar bangsal ini bisa didorong dekat dengan ruangan Zubaidah.
***
Ternyata ruangan Zubaidah hanya dibatasi tirai-tirai. Masih dalam ruangan yang sama, ku perhatikan dr. Cahyo dan keluarga istriku berkumpul. Sungguh hatiku porak poranda tanpa daya dengan lelehan air mata mengutuki diri sendiri. Melalui pembaringan pesakitan ini mataku menangkap wajah Zubaidah dihinggapi legam membiru yang sebagian telah diperban. Napasnya rendah sesuai alunan mesin jantung. Perutnya kempis dan sekujur tubuhnya dibelit selang ifus yang masih bercampur darah bekas tranfusi.
Dokter Cahyo mengatakan adanya resistensi sel golongan darah saat ditransfusikan. Hal ini dapat dipicu dari tekanan batin yang begitu kuat serta kecemasan pikiran. Kembali aku menyumpahi diriku. Manusia laknat yang tanpa belas kasihan. Mertua perempuan segera menyapaku dengan rauangan. Dia berusaha kuatkan aku. Padahal aku sungguh tahu bahwa hatinya jauh luluh lantak ketimbang aku.
"Kapan kejadian ini, Bu?" tanyaku lirih.
"Kata dokter jam 2 siang."
Keningku terangkat. Aku menampik jawaban itu. Tak mungkin. Batinku protes. Aku sangat sadar tentang kebohongan ini. Selanjutnya sebagai wujud pelampiasanku antara sesak, ledakan, dan berserak aku sergah dr. Cahyo.
"Mana mungkin, Pak? Ruang operasi wajib steril. Mustahil ada orang yang diperbolehkan menemani pasien saat operasi" kilahnya yang sarat pengalaman.
Aku merutuk terus. Semua orang bingung dengan tetap terisak-isak. Ibuku yang sudah siuman memintaku untuk istigfar. Merasa semakin kacau, dr. Cahyo kemudian memastikan bahwa mungkin halusinasi itu datang dari reaksi obat bius. Dirinya lalu mengambil lipatan kertas dari sakunya. Dokter Cahyo bilang catatan lab ini ditemukan dekat dengan posisi Zubaidah jatuh. Bergetar, aku raih catatan yang merupakan laporan chek up DNA istriku. Sebuah tulisan cukup besar berwarna merah untuk kesekian kalinya menjungkalkan diriku kedalam sesal yang kental, 'POSITIF'.