Mohon tunggu...
Sitti Fathimah Herdarina Darsim
Sitti Fathimah Herdarina Darsim Mohon Tunggu... -

a volunteer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya di Langit

18 Oktober 2014   12:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Tetaplah menjadi bintang di langit

Agar cinta kita akan abadi

Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini

Agar menjadi saksi cinta kita berdua


“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” sesalnya.

“Maksudnya, Kak?”

“Aku udah sama Laut”

“Kak Laut? Sejak kapan?”

“Sebulan yang lalu”

—————

Tidak ada alasan tertentu mengapa aku mengikuti akun twittermu. Sekedar ingin berteman dengan kakak-kakak kelas yang menjadi panitia saat aku menjalani Masa Orientasi Siswa. Tapi ternyata, kamu juga mengikuti akun twitterku. Mungkin sekedar untuk bersikap ramah.

Kamu memulai percakapan pertama kali di twitter. Awalnya hanya percakapan biasa. Lama-kelamaan, aku tahu kalau kamu juga adalah penggemar band favoritku. Kita menjadi sangat sering bercakap di twitter. Tentang sejauh bagaimana kamu menyukai band itu, tentang mengapa kamu menyukainya, tentang siapa yang paling kamu sukai, tentang berita-berita terbaru. Tentang apa saja mengenai band itu.

Suatu hari, aku mencarimu di sekolah. Aku ingin mencoba menyapamu, juga karena ingin melihat langsung paras gadis langka yang menggemari band yang sama denganku. Aku menyebutmu gadis langka karena band yang aku dan kamu sukai sama sekali bukan tipe band yang disukai oleh gadis-gadis pada umumnya.

Aku sedang menikmati makan siangku di meja kantin sekolah ketika mendapatimu masih sedang mengantri. Aku menghentikan makan siangku, lalu berpura-pura mengantri di belakangmu.

“Hai Kak, Kak Aya punya lagu terbarunya JJM?” sambarku dengan basa-basi.

“Hei kamu, Lan! Wah, kalau yang itu aku cuma ngambil beberapa sih dari internet.”

“Kalau yang Island emang bagus, Kak?”

“Kalau menurutku sih bagus, lebih kental jenis musiknya.” jawabmu dengan senyuman.

“Oh oke deh kalau gitu Kak. Makasih infonya Kak…” kubalas senyumanmu.

“Loh bukannya kamu mau ngantri makan siang?”

Samar-samar masih kudengar teriakanmu itu. Namun, aku telah lenyap dari hadapanmu secepat cahaya menyebar di langit siang ini. Siang ini langit sangat terang dan menyejukkan, seperti senyumanmu barusan.

—————

Kita tidak pernah lagi bercakap-cakap di twitter, apalagi di sekolah. Kita disibukkan dengan banyak tugas dan ujian di pertengahan semester. Belum lagi ekskul yang sangat padat.

Tapi, diam-diam aku sering melihatmu dari jauh sebelum ekskul dimulai. Aku melihatmu dari jendela perpustakaan di mana aku sering duduk untuk mencari inspirasi tulisan-tulisanku. Melihatmu membawa buku-buku tebal di tangan kiri dan alat-alat laboratorium di tangan kanan, menuju laboratorium fisika. Aku pikir aku mengagumimu.

—————

Aku baru saja tiba di sekolah pagi itu, ketika orang-orang berkumpul di depan papan pengumuman sekolah. Membuatku jadi penasaran ingin melirik sebentar saja.

Cahaya Ramadhani. Namamu selalu menempati posisi teratas setiap kali ada tes seperti ini. Namamu sudah tidak asing lagi. Bagaimana tidak? Jika ada jam-jam pelajaran yang kosong, aku selalu melihatmu duduk di bangku pojok perpustakaan dengan headset merah yang selalu menemanimu.

Nama di bawahnya juga tidak kalah tidak asingnya bagiku. Deru Laut. Dia adalah ketuaku, Ketua MPK di sekolah ini.

—————

Entah sejak kapan aku selalu mencatat hal-hal baru yang aku tahu tentangmu, sekecil apapun itu. Misalnya saja, di PORSENI ini kamu sering sekali memakai baju merah. Aku akhirnya membuat kesimpulan sendiri. bahwa kamu menyukai warna merah.

Kamu tidak seperti biasanya. Di PORSENI ini, rambut panjang yang selalu kamu ikat, sekarang kamu biarkan terjuntai indah. Panjang dan berkilau seperti iklan-iklan shampoo di televisi.

—————

Makan siang hari itu, entah ada angin apa kamu langsung duduk di depanku. Kita makan siang bersama.

Kamu memulai pembicaraan, “Setelah ini ada pelajaran, Lan?”

“Nggak ada, Kak. Kak Aya?”

“Nggak juga.”

“Udah dengar semua lagu terbarunya JJM, Kak?”

“Belum. Kamu?”

Aku menjawab dengan panjang, berharap percakapan ini bisa terus mengalir. Aku tidak ingin menghentikan pembicaraan denganmu. Aku kira aku sudah gila. Ini bukan lagi perasaan kagum.

—————

Besok, akan ada seminar kepemimpinan di sekolah. Aku sebagai kelas X menyempatkan diri membantu mengatur-atur bangku. Kamu yang notabene adalah siswi kelas XII dan Ketua OSIS sebenarnya tidak perlu berada di situ. Tapi tetap saja kamu bersikeras untuk membantu membersihkan.

Kamu sepertinya tidak sadar kalau di perpustakaan tinggal kita berdua malam itu. Aku tetap melakukan pekerjaanku tapi berusaha berada tidak jauh darimu. Kamu sedang menyapu lantai dua perpustakaan, sementara aku menuju lantai bawah untuk mengambil sesuatu.

Baru lima langkah kakiku di tangga menuju lantai bawah. Dan… Tep! Semuanya gelap. Suara sapu yang kamu pegang terjatuh segera saja terdengar olehku. Kubalikkan haluan, kembali ke lantai atas di mana kamu berada. Segera kucari kamu di tempat terakhir aku melihatmu menyapu lantai. Kugapai tanganmu lalu kutuntun menuju lantai bawah.

Kamu sempat melontarkan pertanyaan “Ini siapa?” Aku bisa merasakan tanganmu bergetar. Aku tahu kamu takut. Tapi aku hanya diam dan terus membawamu ke tempat di mana kamu bisa duduk dengan tenang.

Setelah aku mendudukkanmu di salah satu bangku perpustakaan, aku melepaskan tanganmu dan berusaha mencari penerangan di luar perpustakaan. Hanya beberapa saat setelah aku keluar, lampu telah menyala kembali.

Aku ingin berlari secepatnya untuk menemuimu. Sebelum kudapati telah ada orang lain yang berdiri di sana, di tempatku seharusnya berdiri dan menggenggam tanganmu. Kamu pasti mengira orang itulah yang menolongmu. Tentu saja, orang itu adalah orang terdekat denganmu, si Ketua MPK.

—————

Beberapa hari setelahnya, entah itu adalah sebuah kebetulan atau kesengajaan. Seseorang yang seisi sekolah ini pun tahu sangat dekat denganmu bercerita kepadaku. Tentu saja, dia adalah si Ketua MPK. Sepertinya dia menyukaimu.

Dia bercerita tentangmu. Tentang hal-hal menjengkelkan, menyenangkan, sampai hal-hal lucu darimu. Ada perasaan senang ketika mendengar hal-hal baru tentangmu, yang kutahu pasti tak akan kutahu jika bukan dari orang ini. Akan tetapi, ada juga perasaan kesal kepadanya karena dia jauh lebih tahu tentangmu. Karena sejak pertama dia mengalami semuanya bersama denganmu. Apa mungkin aku menyukaimu? Seorang gadis yang terpaut dua tahun denganku?

—————

Hari ini hari kelulusan. Lagi-lagi namamu dipanggil naik ke atas panggung karena mendapat nilai ujian terbaik. Setelah itu, kamu mengucapkan salam perpisahan lebih cepat karena malam itu juga kamu akan berangkat ke Beijing untuk melanjutkan kuliah.

Aku memutuskan untuk mengakui perasaanku kepadamu. Saat pandangan orang-orang tertuju kepada seseorang yang paling berpengaruh di angkatanmu, Deru Laut. Aku mengajakmu ke satu sudut sekolah tempat favoritku. Perpustakaan.

“Kak, aku udah lama suka sama Kak Aya,” akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku. Tidak ada lagi basa-basi.

Hening. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit sudah aku menunggu kamu mengucapkan sesuatu.

“Kenapa kamu baru bilang sekarang, Lan?” sesalnya. Kamu tertunduk, berusaha menyembunyikan tangismu.

“Maksudnya, Kak?”

“Aku udah sama Laut”

“Kak Laut? Sejak kapan?”

“Sebulan yang lalu”

Siang itu, cahaya hatiku meredup. Tidak seterang cahaya langit pada siang pertama aku menyapamu di kantin sekolah.

Masih dengan wajah yang tertunduk, kamu keluar dari perpustakaan. Siang itu, aku kehilangan cahaya terang yang selalu menyinari hari-hariku. Aku kehilangan senyumanmu.

—————

“Aya, udah nyampe di mana?”

“Tunggu tunggu, ini lagi ambil bagasi.”

“Ya udah, aku tunggu di pintu kedatangan yah…”

“Iya, Lan…”

Beberapa saat kemudian, kamu pun datang dengan senyuman yang sama seperti dulu. Seperti setitik cahaya terangku yang sempat redup.

“Welcome home, Aya…” Tak tahan rasanya diriku untuk tidak memelukmu. Peluk yang menumpahkan semua rasa rinduku. Empat tahun bukan waktu yang sangat singkat untuk menanti cahayaku kembali terang. Kamu membalas pelukanku.

“Aya, aku masih di sini. Nungguin kamu pulang untuk ngucapin kalimat yang sama seperti empat tahun yang lalu.”

“Maaf Lan… Karena waktu itu aku belum sempat menjawabnya,” ucapmu.

Aku menatapmu penuh harap.

Kamu melanjutkan kalimatmu, “Mulai hari ini, aku akan menjadi cahaya yang selalu menerangi langit. Aku akan menjadi matahari di setiap pagimu, dan menjadi bintang di setiap malammu”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun