Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Budaya

Alumnus Universitas Islam Indonesia 2001. Pecinta budaya dan humaniora

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merawat Buah Cinta di Kebun yang Terbelah

4 Maret 2024   12:04 Diperbarui: 4 Maret 2024   12:20 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah...kupu-kupunya lucu...Nia ingin memegangnya". Teriak Nia sambil tertawa riang mengejar kupu-kupu. Saat begini memang sedang musim kupu-kupu, ulat pemakan daun johar telah sempurna ber metamorfosa,  dari ulat menjadi kupu-kupu indah. Warnanya kuning keputihan, kusam. Nia masih saja berlari ke sana kemari, mengikuti arah terbang kupu-kupu, ketika kupu-kupu merendah ke tanah, Nia menjatuhkan badannya, melompat ketika kupu-kupu terbang meninggi.

"Bagaimana Sayang, dapat kupu-kupunya". Tanya Wawan pelan, Nia menghampirinya dengan wajah cemberut.

"Kupu-kupunya nakal, nggak mau berteman denganku". Jawab Nia kesal.

"Bukan begitu Sayang, kupu-kupu justru suka bermain denganmu, karena kupu-kupu ingin Nia kejar lagi besuk, sekarang sudah sore, waktunya mandi, ayo anak Ayah yang paling cantik". Hibur Wawan sambil merengkuh tubuh Nia.

Dari gendongan ayahnya Nia menirukan Wawan bernyanyi, meski nadanya tidak selalu tepat, tapi suara anak-anak tetaplah suara terindah yang bisa dinikmati.

 

Kupu-kupu yang lucu, 

Ke mana engkau terbang

Hilir mudik mencari

Bunga-bunga yang kembang

 

Nia adalah anak Wawan, hasil buah cinta dengan kekasihnya dulu, mungkin juga hingga sekarang. Wawan dan Sari saling mencintai sejak mahasiswa, sayang orang tua keduanya tidak merestui hubungan mereka,  disebabkan perbedaan keyakinan. Sebuah problem klasik yang sepertinya akan selalu saja terjadi. Bahkan meski cinta mereka berbuah anak perempuanpun tidak mampu menjadi bahan pertimbangan utama untuk menganulir ketidaksetujuan orang tua mereka. Perpisahan cinta yang begitu menyakitkan bagi Wawan dan Sari. Betapa Wawan dan Sari menerima murka dari keluarga masing-masing, apalagi dengan keadaan Sari yang sudah hamil. Bahkan orang tua Sari bersikukuh meminta kandungan Sari digugurkan, aib keluarga, begitu anggapan mereka. Tentu saja Wawan dan Sari menolaknya mentah-mentah, bagaimanapun bayi itu adalah keturunan mereka, darah daging yang tidak pantas di kutuk keberadaannya.

"Pokoknya Papi dan Mami tidak mau anak haram itu menjadi bagian dari keluarga ini!!!". Murka orang tua Sari ketika di suatu waktu memanggil Wawan dan Sari.

Sari hanya menangis sepanjang waktu, tak mampu berkata apa-apa. Wawan lah yang berusaha tenang memberikan pemahaman kepada orang tua Sari, bahwa kalau dikehendaki dan diperbolehkan, Wawan sanggup merawat anak itu kelak, jangan di gugurkan, tidak boleh yang tidak berdosa di hukum atas perbuatan orang lain.

Sari pun akhirnya menikah, sekali lagi mengikuti kehendak orang tuanya. Meski begitu hubungan Wawan dan Sari masih terjaga, khususnya ketika Sari sedang mengalami masalah pasti selalu bercerita kepada Wawan. Dari situlah Wawan tahu bahwa ternyata suami Sari bertemperamen kasar. Terbentuklah rumah tangga yang penuh dengan pertengkaran dan tidak jarang berujung pada kekerasan fisik, maklum bagaimanapun pernikahan tanpa cinta akan sulit berjalan dengan semestinya. Hingga suatu ketika Sari menelepon Wawan.

"Mas, aku sudah tidak kuat hidup begini". Terdengar suara Sari bergetar bercampur tangis.

"Tak bisakah kamu bertahan dulu Dik". Jjawab Wawan.

"Enggak Mas, aku sudah tidak tahan. Perilaku suamiku semakin runyam, apalagi setelah bapakku wafat. Aku seperti semakin lemah tanpa pelindung, suamiku semakin semena-mena". Lanjut Sari.

"Lalu maumu bagaimana Dik?". Tanya Wawan mencoba menyelami apa yang dimaui Sari.

"Aku mau kabur saja, ke luar negeri". Jawabnya singkat.

"Gila kamu Dik, keluar negeri mana?". Tanyaku.

Sari tidak membalas pertanyaan Wawan.

"Mas masih mencintaiku kan?". Tanya Sari dengan suara bergetar.

"Kok tanya begitu Dik, sudah pasti, makanya aku sampai sekarang memilih untuk tidak menikah". Jawab Wawan dengan mata berkaca-kaca.

"Sama Mas, Sari selalu mencintai Mas Wawan. Meski Sari paham kita tidak mungkin bersatu". Sari menangis sesenggukan.

"Mas, aku minta tolong satu saja, tolong Mas rawat Nia dengan baik.  Aku akan pergi mas, keluar negeri bagaimanapun caranya. Serius, aku tak kuat hidup berumah tangga seperti ini, disisi lain aku tidak tega meninggalkan Nia bersama suamiku". Sari meng iba.

"Baik Dik, biar Mas berdiskusi dulu dengan orang tua, semoga mereka berdua berkenan". Timpal Wawan, merasa tidak ada pilihan lain selain mencoba meng-iyakan kemauan Sari yang sedang penuh tekanan.

Setelah makan malam bersama, Wawan memberanikan diri mengajak berbicara orang tuanya terkait permintaan Sari.

"Bapak Ibu, mohon maaf sebelumnya, Wawan perlu menyampaikan hal penting dan memerlukan kerelaan Bapak Ibu berdua. Wawan memulai pembicaraan dengan sopan.

"Ada persoalan apa Wan?, kamu sudah dapat calon istri?". Jawab Bapaknya Wawan.

"Bukan soal itu Bapak, Sari selalu bertengkar dengan suaminya, hingga ke kekerasan fisik, Sari bilang sudah tidak kuat berumah tangga dan hendak pergi ke luar negeri. Nia biar saya asuhnya ya Bapak?". Wawan menjelaskan.

"Kamu ini bagaimana Wan, bukannya segera mencari istri malah mengurusi mantan pacarmu?, bagaimana hidupmu, hah??". Jawab bapaknya Wawan.

"Nanti kan jodoh datang sendiri Bapak, yang jelas Wawan hendak bertanggungjawab atas apa yang telah Wawan lakukan, kasihan Nia hidup di lingkungan keluarga seperti itu. Nggak tega juga dengan Sari yang selalu menerima kekerasan fisik dari suaminya. Bagaimana jadinya mental Nia ketika dewasa kelak". Wawan melanjutkan argumennya.

"Nia tidak berdosa apa-apa Bapak, Ibu. Bagaimanapun Nia adalah darah daging saya. Maka izinkan Wawan merawat Nia". Lanjut Wawan memohon dengan sopan.

"Bagaimana ini Bu? Anakmu semata wayang semakin aneh-aneh saja". Tanya Bapak Wawan kepada istrinya.

"Wawan ada benarnya Pak, Nia tidak berdosa apa-apa, berhak dikasihi seperti anak pada umumnya. Kasihan Nia hidup dalam keluarga yang penuh pertengkaran". Ibu Wawan menerima.

Begitulah, sebulan setelahnya, Sari datang ke rumah Wawan menyerahkan Nia yang berusia satu setengah tahunan. Sari datang dengan wajah lebam, beberapa bekas luka tertinggal di wajah dan lengannya.

"Yaa Tuhan, Sari.........". Gumam Wawan dengan mata berkaca-kaca.

Ibunya Wawan juga sama, tidak bisa menyembunyikan iba, menangis tanpa suara. Bagaimanapun ia adalah juga seorang perempuan. Sementara Bapak Wawan diam membisu, menyembunyikan dan menahan gejolak dalam hatinya.

Begitulah, bagi Wawan Nia adalah segalanya, dimatanya Nia adalah Sari yang kini entah di mana keberadaannya.

"Ayah!!! Nia nggak bisa tidur, ingin segera bermain dengan kupu-kupu". Keluh Nia suatu malam.

"Sayang, Nia harus tidur, biar sehat dan besuk pagi bisa bermain dengan kupu-kupu sepuasnya. Ayo sini, ayah bacakan dongeng agar Nia bisa segera terlelap". Jawab Wawan lembut seraya mengambil buku dongeng di rak dekat tempat tidur.

"Syahdan suatu hari sebutir telur burung rajawali jatuh dan akhirnya sampai ke pojok suatu kandang tempat seekor ayam sedang mengerami telur-telurnya. Telur rajawali itu ikut di erami induk ayam. Akhirnya setelah tiba waktunya telur burung rajawali itu menetas bersama telur-telur ayam. Waktu berlalu, anak rajawali itu dengan sendirinya mulai mengalami kerinduan untuk terbang sesuai dengan nalurinya, dan berkata kepada ibunya, sang ayam, 

"Kapan saya boleh belajar terbang?" 

Ayam betina yang malang itu menyadari bahwa ia tidak dapat terbang dan sama sekali tidak tahu bagaimana burung-burung melatih terbang anak-anak mereka. Namun ia malu mengakui ketidakmampuannya, dan berkata, 

"Belum waktunya anakku. Saya akan mengajarimu kalau engkau sudah siap." 

Bulan demi bulan berlalu dan burung rajawali muda itu mulai curiga, ibunya tidak dapat terbang. Namun ia tidak dapat merasa bebas dan terbang sendiri, karena kerinduannya yang besar untuk terbang sudah tercampur dengan rasa terima kasih terhadap burung yang telah menetaskannya.

"Rajawalinya Ibu, dan Induk Ayamnya Ayah ya?, Ibu dimana sih Ayah?" celetuk Nia.

Wawan kaget, mengira Nia sudah tertidur, ternyata masih mendengarkan hingga selesainya cerita.

"Hmmm, sudah ya, Nia tidur dulu, jangan lupa berdoa, jangan lupa mendoakan ibumu agar bisa pulang dan memeluk Nia. Doa Nia pasti di dengar Tuhan". Kata Wawan sambil membenarkan posisi selimut Nia dan melanjutkan mendongeng dengan kisah yang lain.

"Ahh, Sari...hidung Nia mirip hidungmu dik, tatapanmu juga. Kamu memang rajawali, sementara aku ayamnya seperti kata Nia" Wawan menghela nafas dalam-dalam sambil mengamati wajah Nia yang sudah pulas.

Keesokan harinya, setelah pulang bekerja, Wawan langsung menghampiri Nia yang sedang bermain dengan neneknya.

"Ayahhh....ayo dong ganti baju, lalu menangkap kupu-kupu, itu kupu-kupunya sudah menungguku". Rengek Nia manja.

Wawan melihat keluar rumah melalui jendela kaca, ia melihat kupu-kupu beterbangan, sesekali bergantian menghinggapi bunga-bunga di halaman rumah.

"Baiklah anak Ayah yang cantik, Ayah ganti bajau dulu, toss dulu dongg sayang". Balas Wawan dengan gembira.

Nia tersenyum bahagia. Mereka berdua menuju halaman rumah, bermain dengan kupu-kupu. Nia berlarian mengejar kupu-kupu, kadang-kadang terjatuh ketika hendak menubruk kupu-kupu yang hinggap di tanah.

"Ayahhh... ayo dong ikut menangkap kupu-kupu". Teriak Nia.

"Nia saja yang menangkap, Ayah yang memanggil kupu-kupu saja". Wawan tersenyum.

"Ayah bohonggg, masa bisa memanggil kupu-kupu, ayo mana coba Nia ingin tau caranya". Jawab Nia.

"Hahahahaha.... begini lho Sayangku, kalau ayah yang menangkap, kupu-kupunya nanti kesakitan dan rusak sayapnya, kan kasihan".  Kelit Wawan.

"Kalau begitu Nia nggak jadi menangkap kupu-kupu saja, nanti sayapnya rusak". Jawab Nia cemberut.

"Kalau Nia yang menangkap nggak apa-apa, Nia kan menangkapnya dengan penuh kasih sayang, iya kannnn???". Hibur Wawan.

Tiba-tiba seekor kupu-kupu hinggap di bahu Wawan.

"Ayah itu kupu-kupunya datang, hinggap di bahu Ayah, Ayah benar-benar bisa memanggil kupu-kupu yaaa?". Tanya Nia girang.

"Nah sekarang coba Nia tangkap, tetapi Nia bilang dulu sama kupu-kupu....temanku izinkan aku menangkapmu yaaa, aku tak akan menyakitimu kok.....begitu!". Bujuk Wawan. Dan benar saja, Nia berhasil memegang kupu-kupu itu, Nia senang sekali.

"Bener Ayah, kupu-kupunya nurut Nia pegang, lihatlah !!!". Nia sangat gembira.

Keceriaan mereka dijeda oleh kedatangan petugas pengantar paket.

"Maaf, benar ini alamatnya Pak Wawan? Ada Paket buat Pak Wawan". Kata pengantar paket.

"Betul!". Jawab Wawan dengan hati bertanya-tanya paket dari siapa, dia tidak merasa memesan barang lewat aplikasi belanja online. Setelah menerima paket, Wawan membaca nama pengirim yang tertera.

"Sari????"

Wawan bergegas memanggil Nia mendekat.

"Sayang, ini paketnya untuk mu, dari Ibumu, ayo kita buka bareng-bareng". Kata Wawan seraya menghampiri Nia yang masih asyik dengan kupu-kupu di tangannya.

Nia Nampak gembira, mereka berdua pindah ke teras rumah, membuka paket.

Setelah dibuka, paket berisi kalung ber bandul kupu-kupu, dan selembar amplop cokelat. Nia segera mengambil kalung itu dan mengenakannya.

"Yahh Ayah bohongg kann, ternyata kupu-kupu ini disuruh Ibu, bukan karena diminta Ayah". Kata Nia sediki mengejek Ayahnya. Nia kemudian berlari menemui kakeknya yang sedang merapikan rumput halaman, memamerkan kalung barunya. Wawan menanggapinya dengan senyum.

"Nia ku yang cerdas". Gumamnya dalam hati. Lalu Wawan membuka amplop coklat, ia melihat selembar foto perempuan berpakaian suster sedang bersama anak-anak di Afrika.

"Ahh Sari". Hati Wawan bergetar hebat.

Setelah foto ia amati, Wawan melihat tulisan tangan tertera di belakang foto.

"Mas Wawan, jaga baik-baik Nia, anak-anak di foto ini di mataku adalah Nia. Aku selalu mencintaimu sampai kapan pun".

Wawan menangis tanpa sepengetahuan Nia yang sedang asyik memamerkan kalung barunya kepada kakeknya. Diam diam Ibu Wawan yang sedari tadi memperhatikan dari balik jendela ruang tamu menangis sesenggukan melihat Wawan dan Nia.

"Aku jadi ragu dengan kengototanku menolak pernikahan Wawan dan Sari, Ya Tuhan yang Maha Kasih, maafkan kami". Begitu doa Ibu Wawan di dalam hati sambil menyeka air matanya.

Ponorogo, 4 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun