Syahdan di sebuah belantara, pepohonan dijajah, tahunan sudah. Pohon-pohon tumbang, satu persatu menunggu antrian, dieksekusi kemudian mati. Sukma pohon pohon yang mati, berkumpul menunggu dalam lara, bahkan dendam membara. Mereka marah tetapi tak tahu bagaimana melampiaskan.
"Bagaimana ini, kita sudah terlunta-lunta di sini satu tahun lebih, kukira kita semua sama, memendam marah," ujar sukma Meranti membuka kebekuan.
"Hanya satu kata, LAWAN!!!" teriak sukma Ulin sambil mengepalkan tangan ke udara.
"Setujuuuu...LAWAN!!!" jawab sukma Merbau, disusul Bengkirai dan pohon lainnya bersahutan. Suasana yang beku menjadi riuh, oleh murka.
"Ooo.... bagaimana kita bernasib sepahit ini. Kita semua tumbuh hanya untuk memberi manfaat kepada bumi, juga si manusia. Inikah balasan mereka, membantai kita satu-persatu. Setiap lima belas menit salah satu dari kita mereka bantai. Bangsat!!" lanjut sukma Meranti.
"Apa mereka buta, tidak melihat bagaimana bahagianya burung-burung, orang utan dan hewan lainnya bercanda dengan kita-kita" gerutu sukma Merbau.
"Sudah-sudah, kejahatan mereka sudah tidak bisa dibicarakan lagi, percuma. Kembali ke teriakan kita tadi, mari kita diskusikan bagaimana kita melawan, membalas dendam" sukma Ulin mencoba memusatkan lagi pembicaraan.
"Kita tak punya senjata, posisi kita jelas sangat lemah. Hanya kecerdikan, pengorganisasian yang rapi, semangat, keberanian, dan yang pasti gerakan kita musti klandestein." Sukma Merbau menimpali.
"Baik, yang pertama, pastinya kita butuh pemimpin, tapi jangan aku ya, aku belum mampu memimpin perlawanan ini," ujar sukma Ulin.
"Lalu siapa lagi kalau bukan kamu Ulin?, sepertinya kamu banyak inisiatif deh" tanya sukma Bengkarai.