Kehidupannya berjalan normal seperti biasa. Bekerja, mengurus anak, bermasyarakat dengan wajar. Seno adalah lelaki yang cinta keluarganya, homy pula. Ia gemar menghabiskan waktu untuk berkebun. Tak apa laki-laki suka bung-bunga, meski Kuntowijoyo pernah menulis cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, itu lain maksud cerita, lain perkara.
Untuk mengisi hari libur sabtu ini, Seno bersih-bersih rumah, halaman dan tak lupa lemari buku, menata ulang koleksi buku-bukunya, di klasifikasikan sesuai tema-tema judulnya. Seno menemukan keasyikan sendiri membuat katagori-katagori. Di tumpukan buku yang agak bawah Seno melihat buku lama (bahkan lupa kalau memiliki buku itu) bersampul hitam, Akar, karya Dewi Lestari.
Ahhh Irene.
Ia buka halaman pertama. Matanya melihat tulisan tangan dalam dua jenis huruf, cina dan latin, "Aihh tulisanmu bagus Irene!".
Irene adalah teman jarak-jauhnya Seno. Jauh yang mustinya dekat, karena mereka mahasiswa perguruan tinggi yang sama, fakultas sama bahkan jurusan sama, cuma beda Angkatan. Seno merasa sama sekali belum pernah bertemu Irene, atau sebenarnya sudah namun tak tahu bahwa itu Irene. Mereka sering ngobrol melalui handphone, sms terutama, saling cerita. Irene beberapa kali mengirimi Seno buku, seakan paham betul kegemaran Seno membaca, khususnya karya sastra baik Indonesia maupun jawa. Sayangnya ketika komunikasi mereka sedang intens Seno sudah bertunangan.
"Aku abai dua puluh tahun lalu, kerna waktu tak tepat, atau lebih tepatnya aku tak berani nekat" gumam Seno. "Soal tak pernah bertemu bukan hal yang mendasar bagiku, sebab kata seorang filsof Jerman penulis buku Ich und Du bertemu tak berarti berjumpa, berjumpa tak musti bertemu muka". Seno masih bengong, dengan novel Akar ditangannya, sedikit berdebu. "Coba dulu aku berinisiatif sering ke Jogja, mencoba bertemu Irene agar lebih akrab dan lengkap perjumpaannya" Sesal dalam lamunan Seno.
Begitulah, hari-hari berikutnya Seno dipenuhi rasa penasaran, "bagaimana kehidupan Irene sekarang?, Â mungkin Irene sudah menikah, bahagia, Â bersama anak-anak nya, tinggal di rumah yang tak harus besar, bercat putih bersih, penuh bunga-bunga yang sering tersentuh tangannya. Oh iya, tak lupa terdapat bangku seadanya di taman sudut rumahnya, tempat ia membaca".
Seminggu lamanya Seno berupaya mencari kontak Irene. Seluruh platform media sosial ia jelajahi, mencari akun Irene, Nihil. Nampaknya Irene bertipe anti media sosial. "Jangan-jangan Irene tengah menjadi pengikut Mother Theressa, atau Rabiah Al Adawiyyah?, atau sengaja membikin akun yang tidak memungkinkan bagiku mengenalinya?" Seno menggumam. Akhirnya Seno mencoba cara lain, menghubungi kawan-kawan kuliahnya, barangkali salah satu diatara mereka masih berhubungan dengan Irene. Entah melalui WAG atau apalah. Suatu hari Seno mendapat kabar melalui WA kawannya, bahwa Irene hingga usia tiga puluh tujuh tahun belum menikah. Kabar yang membuatnya agak syok. "Seorang wanita usia mendekati empat puluh tahun belum menikah, pasti ada hal-hal yang luar biasa dihadapi Irene", Seno menganalisa. "Jangan-jangan salah satunya disebabkan olehku?" Seno mulai menyalahkan diri, dibayangkannya Irene patah hati, hingga menutup diri bagi laki-laki. Hari berikutnya Seno menelpon teman kuliahnya yang paling akrab.
"Halo, Lung...apa kabarmu, lama nggak ngobrol kita" pembukaan pembicaraan basa-basi Seno lewat panggilan hand phone nya.
"Wah...kabarku apik Dab, tumben nelpon, ada apa?", balas Lung.
"Ahhh...pengen ngobrol tok wae" Seno agak kikuk.
"Alahhh...mbel!!!...hahahahaha".
"Gini lo Lung, kamu inget Irene adik kelas kita?, kamu masih kontak dia nggak" Seno memutuskan untuk to the point saja, toh Lung adalah kawannya yang paling karib.
"Wahhh ora e, kenapa to?"selidik Lung.
"Gini lho Lung....kata Ardi Irene kok belum menikah pas dia ketemu tahun lalu. Usianya berarti sudah tiga puluh tujuh tahun. Cewek seusia segitu belum menikah lho Lung, ada apa yaa???".
"Kalau belum menikah emange mau kamu kawini??? Hahahahahahaha..." Jawab Lung bikin Seno salah tingkah.
"Ya mbok jangan terus begitu to urusannya. Aku penasaran Lung. Mbok tolong carikan info" pinta Seno. "Ya coba tak bantu cari info, sabar. Kenapa kok kamu penasaran, mantanmu po? Hahahahaha" ledek Lung lagi.
"Wedhus kowe Lung, wis to bantu aku ya, ini saya diajak rapat pak bos, saya akhiri dulu, makasih ya Lung sebelumnya". Seno segera menutup pembicaraan kemudian bergegas ke ruangan Pak Bos nya.
Seno menjadi sering menyelidik dirinya sendiri. "Kenapa aku jadi tiba-tiba kepikiran Irene?. Padahal sudah dua puluh tahun aku lupakan dia. Ahh andai kata dulu aku ....."sesal yang kekanak-kanakan menghinggapi Seno. "Memang kamu tak tahu terimakasih, kamu jahat sama dia, tak peka". Seno dihardik benaknya sendiri. "Kamu hanya berharap dipuja-puja saja, seperti firaun!" kata benak Seno lainnya. "Ah apapun, setidaknya ada peduli, meski terlambat, seperti kereta yang tak tepat waktu karena terguling di belokan rel", pikir Seno menemukan landasan. "Begitulah laki-laki, gemarnya mengejar, seperti singa melihat sapi hutan sendirian, enggan menjadi sapi hutan yang dikejar singa" pikiran Seno berkecamuk.
Pak Bos mengajak rapat ternyata karena Seno diperintah pergi keluar kota besok lusa, Kediri. "Apa?? Kediri??? Kebetulan macam apa ini?, bukankah alamat pengiriman buku Irene Mojoroto Kediri?" Seno jadi grogi. Membayangkan kemungkinan ia nekad mendatangi rumah Irene. Sepulang kerja Seno yang biasanya menuju halaman belakang untuk merawat tanaman, memilih membongkar tumpukan kertas lama, barangkali amplop bungkus paket buku dari Irene masih tersimpan. Dan benar saja, ia menemukan amplop coklat besar, tertera nama jalan dan nomor rumah Irene disana. "Dhuh Gusti...ada apa dibalik kebetulan ini?"
Hari ketika Seno harus berangkat ke Kediri sampai juga. Seno berangkat naik bus. Sepuluh jam perjalan yang berarti pula sepuluh jam kecamuk batinnya. Bimbang antara sekedar menyelesaikan tugas Pak Bos atau apakah kesempatan langka ini ia manfaatkan mencari tahu Irene?. Lumayan, Seno di Kediri selama tiga hari, mengikuti Diklat pengembangan UMKM.
Hari pertama diklat, setelah acara seremonial yang begitu-begitu saja dan membosankan, dilanjutkan pemaparan salah satu narasumber yang merupakan pelaku usaha kecil di Kediri yang sukses. Sukses yang bukan hanya untuk usahanya sendiri, tetapi juga mampu mendongkrak kelas UMKM di daerahnya. "Keren ini orang?" bisik hatinya. "Sementara aku kerja kantoran, tak merdeka seperti dia". Lama kelamaan Seno merasa pernah bertemu dengan si narasumber ketika kuliah. "Benarkah itu Tantri? Anak manajemen?". Setelah sesi materi pada saat acara coffe break, Seno memberanikan diri menyapa narasumber.
"Hai....apakah anda Tantri?"
"Iya betul, sebentar.....kamu..sebentar...kamuu kannnn....hmmm Seno yaaa?".
"Betul, aku Seno, anak manajemen kelas genap".
"Wahhhh kita ketemu juga Sen, setelah dua puluhan tahun, kau kerja di pemerintahan ya Sen, kok ikut acara diklat ini?".
"Iya Tan, sebentar Tan, memang kamu asli Kediri ya?"
"Iya betul, setelah lulus aku memutuskan merintis usaha sendiri, dan sepertinya saya dianggap contoh sukses..hahahahaha", gaya Tantri tetap sama, riang penuh tawa ketika mengobrol.
"Wah bagus deh Tan, salut aku, daripada aku, tak semerdeka kamu. Ngomong omong apakah kamu kenal Irene, adik Angkatan, kalau tidak salah dia anak Kediri juga deh".
"Oh.. Irene ya...kenal lahhh, dulu sempat bersama sama menjalankan organisasi Alumni kampus kita, cuman yahh...sekarang pada sibuk sendiri-sendiri. Memang kenapa?? Mantantu ta? Hahahhaha. Awas lo sen, ingat umur, jangan macem-macem, nanti CLBK kamu. Hahahhahaha", ledek Tantri.
"Ya aku kenal saja Tan, kamu masih keep contact ya sama dia".
"Wah sudah jarang banget Sen, Irene sering ke luar kota. Tau...sepertinya dia aktif di suatu lembaga pemberdayaan masyarakat, khususnya dibidang keperempuanan. Yahh kadang ngomongin meditasi -meditasi, spiritualitas, pengembangan potensi diri entahlah ra dhong blas aku Sen, sing penting bagiku golek duwit..hahahahahhaha."
"Kamu punya nomor hp nya kah Tan?".
"Coba saya cek nya yaa, maklum udah lama banget nggak berhubungan. Kalau ketemu, terus kenapa Sen? Hahahahhaha??".
"Aku pengen ketemu dia Tan".
"Loh....tambah curiga aku Sen sama kamu hahahahaha, saya carinya ya nanti, ayo waktunya sesi kedua nih, nanti honorku dipotong lo kalau telat ngasih materi  hahahahahhaah."
Sesi kedua berjalan selama dua jam. Pukul 16.30 selesai, waktunya ishoma. Tantri mengahampiri Seno.
"Wah Sen, ini ada kontaknya Irene, gimana ..apa yang harus kulakukan ndoro hahahahha, memang kamu ngebet ketemu dia yaa. Kenapa sih emang Sen?".
"Nanti saya ceritakan deh Tan".
"Baik, coba Irene tak kontak nya, biar dia datang kesini, deket kok rumahnya dari hotel ini, paling lima belas menit perjalanan".
Pukul 18.30 jadwal acara makan malam. Seno tak segera menuju antrian hidangan makan, ia celingukan mencari Tantri. "Dimana dia, kok nggak kelihatan?" Seno resah.
"Hayooo mencari saya yaaaa....hahahahhaa" sapa Tantri sambil menepuk pundak Seno. Seno kaget. "Gimana Tan???" tanya Seno tak sabar.
"Apanya yang gimana Sen, aku kok lupa hahahhahahaha." Tantri masih saja menggoda Seno.
"Tenang, gini saja Sen, kita ambil makanan lalu kita makan di meja sana yuk, berdua. Cerita ke aku dong kenapa kamu ngebet pengen bertemu Irene".
Mereka berdua ambil makanan, lalu duduk di meja yang kosong di sudut ruang makan.
"Gini lo Tan..." Seno memutuskan untuk memulai bercerita tentang konteksnya dengan Irene.
"Setelah lulus di tahun 2000, aku pulang ke asalku, terus melamar kerja di pemerintah daerah. Nah waktu itu aku mulai berhubungan dengan Irene via sms dan telpon. Awalanya bagaimana aku lupa. Yah obrolan yang lumayan luas, sampek pas dia takut ada hantu di kos nya saja nelpon aku, disangkanya aku dukun kali" Seno menjelaskan sambil sedikit tersenyum membayangkan kejadian dulu dengan Irene.
"Lalu Irene beberapakali mengirimi aku buku Tan, kok paham kalau aku gemar membaca buku, buku sastra lagi''.
"Wah sepertinya Irene naksir kamu Sen sejak kuliah, mas Seno yang aktivis kampus hahahahahhhah". Tantri masih saja meledek."Lha kenapa tidak kamu teruskan hubunganmu Sen?" selidik Tantri.
"Masalahnya aku sudah tunangan Tan waktu itu".
"Lha ya sudah to, berarti jalannya harus begitu, lha ngapa kamu sekarang penasaran sama Irene?''.
"Gini lho Tan, temenku bilang Irene belum menikah, wajar kan aku kepikiran?"Seno berusaha mencari pembenaran. "Bener nggak kabar itu Tan?".
"Setahuku hingga setahun yang lalu kami sering bertemu, Irene memang belum menikah Sen, nggak tau juga kenapa. Irene pemikirannya memang unik banget sih. Lha jangan-jangan Irene patah hati sama kamu Sen, hayoooo...tanggungjawab kamu Sen hahahahahhaha" ledekan Tantri kesekian kalinya. "Wis gini wae tak telponnya Irene biar datang kesini, ngobrol sana biar kamu nggak penasaran Sen, semoga saja anaknya mau" tawaran Tantri seraya meraih hand phone nya.
"Halo assalamualaikum, Irene?".
"Walalikumsalam...ehh mbak Tantri, ada apa mbak, tumben nelpon aku, pantesan sepanjang siang tadi burung prenjak bunyi terus".
"Alah Irene! mulai lagi deh, berbicara tentang pertanda-pertanda alam. Eh aku sedang di hotel deket rumahmu iki, acara UMKM, kamu kesini dong, kangen lho aku sama kamu, mumpung deket".
"Ehmmm... sebentar mbak...gimana yaaa" jawab Irene agak enggan.
"Ayolah kesini, aku kangen cerita-ceritamu tentang pertanda, meditasi, evolusi spiritual manusia" bujuk Tantri sambil berkedip pada Seno.
"Oke baiklah mbak, aku kesana" Irene bersedia.
"Tak tunggu di cafe hotel ya, lantai tiga".
"Baik mbak".
"Udah Sen, Irene mau kesini, jangan dag dig dug, sebaiknya kamu duduk diujung sana dulu, nanti tak kode baru kamu gabung kesini..oke" kata Tantri sambil mengerlingkan mata kirinya.
Seno langsung bergeser, memilih meja paling pojok, memesan kopi dan beberapa jenis snack. Selang beberapa saat ia menikmati kopi sambil menata benaknya yang susah sekali tenang, ia melihat seorang wanita, pakaiannya anggun, menggunakan syal di leher, tenunan batak. Rambutnya tergerai tak rapi. Dan wajahnya begitu tenang, memancarkan cahaya yang mendamaikan. Wanita itu menghampiri Tantri, berpelukan lalu duduk dengan tenang dihadapan Tantri. Setelah beberapa saat kedua wanita itu mengobrol, Tantri berpaling ke arah Seno, memberikan kode. Seno menghela nafas dalam, mengeluarkannya pelan agar ia bisa tenang dalam kecamuk. Seno beranjak, menuju meja Tantri dan Irene. Seno mendekati Tantri.
"Hei, Sen....ini ada Irene, masih inget nggak sama adik kelas kita??''. Seno mengulurkan tangannya kepada Irene, sedikit gemetaran. "Hai, Irene..akhirnya aku berjumpa denganmu." Irene Nampak sedikit kaget, tetapi ketenangannya yang sudah terlatih membuatnya menerima uluran tangan Seno dengan tenang. Senyumnya begitu berwibawa.
"Hai Mas Seno, tak menyangka bertemu Mas".
"Ceritanya gini lo Irene, Seno mas mu ini, mas...atau mas spesial sih? Hahahhaaa, dikirim bosnya kesini ikut pelatihan pengembangan UMKM. Terus Seno, yang mas spesialmu ini, pengen bertemu kamu. Mungkin ini kebetulan yang pas, ehhh...tapi katamu nggak ada peristiwa yang kebetulan ya, semua diatur semesta, semesta selalu membawa pesan, ah embuh lah, pokok e gitu. Hahahahaha?".
"Loh Sen, kenapa berdiri saja bengong kayak patung, mbok duduk sini, deket aku boleh deket Irene malah lebih afdol, hahahaha" ledek Tantri. "Sialan Tantri, menggoda aku teruss" gumamnya kikuk. Lalu Seno duduk diantara Tantri dan Irene.
"Oke tinggal pesan makanan, Irene mau minum apa?".
"Saya lemon saja mbak."
"Kamu Sen?"
"Sama seperte Irene saja, Lemon"
"Ah kamu Sen, ikut ikutan wae lho, hahahaha". Tantri memanggil pelayan menyerahkan pesanan. Setelah ngobrol kesana kemari pesanan itu datang. Tiba tiba Tantri beranjak, membuka hand phone.
"Eh tak tinggal dulu yaa, panitia memanggil, tanda tangan honor kali, hahahahhahaa. Wis kana dikepenakke le ngobrol". Kemudan Tantri beranjak sambal mengerlingkan matanya kepada Seno.
Maka kini tinggal Seno dan Irene.
"Apa kabar kamu Irene?"
"Kabarku baik Mas, Mas bagaimana kabarnya, anakmu berapa Mas?".
"Anakku satu Irene, sudah SMA ". Irene diam sejenak, menunggu Seno mengajak bicara.
"Irene, terimakasih ya kiriman buku-bukumu dulu".
"Sama sama Mas, buku saja lo".
"Irene, hmmmmm..... bolehkah saya bertanya?".
"Silahkan saja lo Mas".
"Tapi sebelumnya saya mau minta maaf dulu sama kamu Irene".
"Maaf untuk apa sih Mas, nggak ada yang perlu dimaafkan kok".
"Menurut saya saya wajib minta maaf ke kamu lho, Â ada sedikit rasa bersalah di hati saya Irene".
"Baru kali ini saya bertatap muka dengan kamu Irene, saya sering bertanya-tanya apakah sebenarnya kita dulu sering bertatap muka tetapi tidak tahu bahwa itu kamu ya Irene".
 "Ya sering ketemu mas, mas kan senior, aktif membimbing kegiatan angkatan di bawah Mas".
"Sebentar, apa Irene ikut waktu kemah yang kacau balau itu?".
"Ikut Mas, dan saya termasuk yang kasihan sama Mas yang nggak tidur mengurus adik-adik".
"Apakah kamu yang meminta selalu dianter Mas malam-malam karena suasana yang sangat mencekam waktu itu?".
"Bener Mas".
Angan Seno memutar kembali ke acara perkemahan yang kacau karena kasus kesurupan beruntun waktu itu. Selaku ketua Seno kalang kabut mengurus semuanya, mencoba mengendalikan situasi. Dan waktu itu ada mahasiswi adik Angkatan yang kemana-mana minta diantar Seno karena ketakutan. Tidak mau diantar senior yang lain.
"Irene. Hmmmmm..".
"Kenapa Mas, nggak baik bagi mental lo mas kalau suka ragu-ragu".
 "Begini Irene, Mas mau bertanya bagaimana kehidupanmu selama ini Irene?" Seno mengurungkan pertanyaan tentang status pernikahan, khawatir menyinggung.
"Kehidupanku baik Mas, sangat baik. Karena tidak ada alasan untuk merasa tidak baik. Semua sudah ditata oleh semesta, kita tinggal menerima dan menjalaninya kemudian mengambil pelajaran. Dengan begitu hidup akan menjadi sangat kaya Mas". Seno gelagapan, terdiam. Memang Seno suka membaca buku, termasuk spiritualitas. Tapi ia merasa kalah dalam penghayatan dibandingkan Irene, Seno merasa masih cukup labil.
"Irene tinggal di Kediri terus ya?".
"Iya mas, Cuma Irene sering pergi, ke bali, Lombok, naik gunung lawu atau kemanapun sesuka hati".Â
"Memang Irene belum menikah?". Seno keceplosan, karena sebenarnya fokus pertanyaannya ke soal pernikahan, dibendung sekuat tenagapun akhirnya keceplosan juga.
"Apakah menikah itu harus antara perempuan dengan laki-laki to Mas, apakah orang harus berlembaga perkawinan?, perkawinan yang tak jarang justru menghentikan evolusi spiritual, buat apa Mas". Seno makin tertunduk, mencerna perkataan Irene yang ternyata cukup dalam.
"Baiklah Irene, pandangan manusia masing-masing tidaklah sama. Cuma, maaf jika Mas lancang ya, mas khawatir kalau sedikit banyak Mas menyebabkan Irene memilih pilihan hidup seperti ini". Irene terdiam sejenak, menghela nafas dalam, halus, tenang sambil menutup mata.
"Begini Mas, jujur dulu Irene suka sama Mas, Irene suka dengan totalitas mas berbuat demi adik adik angkatan Mas. Mas pemberani, tutur katanya halus. Tetapi skeneraio semesta mengharuskan kita deket baru setelah Mas lulus dan sudah bekerja, sudah punya calon istri. Makanya Irene menuliskan kata-kata Anand Krishna di buku itu. Mas masih inget?".Â
Seno mencoba mengingat-ingat, tetapi yang teringat hanya tulisan Irene dalam huruf cina saja.
"Mas lupa".
"Yang bisa dijadikan penawar amarah hanyalah pemaafan, yang bisa dijadikan penawar kejahatan hanyalah kebajikan, yang bisa dijadikan penawar kebencian hanyalah kasih".Â
"Jadi mas, anak-anak tidak harus berwujud bocah, tetapi kebajikan adalah anak-anak bagiku, aku bisa melahirkan anak setiap saat". Seno lagi-lagi hanya terdiam, mencoba menerima sekaligus membaca Irene seutuhnya.
"Jadi Mas tak perlu khawatir, berprasangka yang kurang sesuai, karena itu akan menghambat batin Mas sendiri. Irene tahu betul kecenderungan Mas yang tertarik kehidupan spiritual".
"Baiklah Irene, diatas semuanya memang pilihan masing-masing orang berbeda, Mas paham dan sangat menghormati pilihan hidupmu Irene".
"Irene juga akan selalu menghormati Mas, berharap yang serba baik buat Mas. Dan jadilah seperti Mas Seno dulu, laki-laki yang tangguh, totalitas berbuat demi sesama dan selalu mau belajar, agar evolusi hidup Mas berkembang tanpa hambatan".
"Baiklah Irene, apa boleh Mas minta nomor mu biar bisa berkomunikasi?".
"Nggak usah Mas, sesuatu yang dibiasakan dan dipaksakan tak akan baik. Biarlah kita ikuti maunya semesta, nanti kalau semesta mempertemukan lagi pasti akan sangat indah dan berkesan".
Kemuadian Tantri datang, langsung nerocos sambil mendekati Seno dan Irene.
"Sudah puas kangen-kangenannya? Hahahhahaha. Eh ngomong-omong karena jadwalku memberikan materi sudah selesai, aku nggak nginep di Hotel lho Sen, aku mau pulang, di tunggu suamiku di parkiran. Kamu masih dua hari disini, biar ditemeni Irene yaaa hahahahaa"" Ledek Tantri.
"Maaf mbak, Irene juga besok harus ke Bali, rencana seminggu disana, berkumpul sama temen-temen" timpal Irene dengan intonasi yang entah bagaimana begitu mantab tak mungkin dibantah atau di halangi.
"Jadi gimana nih Sen, kamu sendirian lo yaaa, hahahaha".
"Iya nggak apa-apa Tan, terimaksih atas semuanya".
"Alahhh santai saja".Â
"Mbak Tantri, Mas Seno Irene pamit dulu, terimakasih semuanya ya" Irene berpamitan.
"Tuh Sen, mbok dianter sampai loby sana".
"Nggak usah mbak, terima kasih. Mari semuanya Irene pamit" kata Irene sopan dengan senyuman yang teduh sekali. Seno tak berkedip, memandang Irene yang berjalan dengan langkah pelan, dengan ritme terjaga. Setelah Tantri pun pamit, Seno masuk ke kamar dengan persaan yang berkecamuk. "Ahh...Irene nampaknya aku harus tetap akrab dengan ketaktuntasan kita, semua kata-katamu seperti benih benih angan, yang justru akan bertumbuh di jiwaku.
Buku Irene, sikap Irene yang tak terbaca tuntas.
Seno rebahan di Kasur kamar hotel, menyetel lagu Sujiwo Tejo berjudul Tanah Makam Cintaku yang ia simpan di memori hand phone nya.
Nadyan nasib pinisah karo pacoban,
Omah gedhong ku mukti bareng wong liya.
Liya dina dibisa pikantuk dalan.
Tan ana dalan ketemu ring ndhuk delahan.
Ponorogo, akhir tahun 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H