"Nggak usah Mas, sesuatu yang dibiasakan dan dipaksakan tak akan baik. Biarlah kita ikuti maunya semesta, nanti kalau semesta mempertemukan lagi pasti akan sangat indah dan berkesan".
Kemuadian Tantri datang, langsung nerocos sambil mendekati Seno dan Irene.
"Sudah puas kangen-kangenannya? Hahahhahaha. Eh ngomong-omong karena jadwalku memberikan materi sudah selesai, aku nggak nginep di Hotel lho Sen, aku mau pulang, di tunggu suamiku di parkiran. Kamu masih dua hari disini, biar ditemeni Irene yaaa hahahahaa"" Ledek Tantri.
"Maaf mbak, Irene juga besok harus ke Bali, rencana seminggu disana, berkumpul sama temen-temen" timpal Irene dengan intonasi yang entah bagaimana begitu mantab tak mungkin dibantah atau di halangi.
"Jadi gimana nih Sen, kamu sendirian lo yaaa, hahahaha".
"Iya nggak apa-apa Tan, terimaksih atas semuanya".
"Alahhh santai saja".Â
"Mbak Tantri, Mas Seno Irene pamit dulu, terimakasih semuanya ya" Irene berpamitan.
"Tuh Sen, mbok dianter sampai loby sana".
"Nggak usah mbak, terima kasih. Mari semuanya Irene pamit" kata Irene sopan dengan senyuman yang teduh sekali. Seno tak berkedip, memandang Irene yang berjalan dengan langkah pelan, dengan ritme terjaga. Setelah Tantri pun pamit, Seno masuk ke kamar dengan persaan yang berkecamuk. "Ahh...Irene nampaknya aku harus tetap akrab dengan ketaktuntasan kita, semua kata-katamu seperti benih benih angan, yang justru akan bertumbuh di jiwaku.
Buku Irene, sikap Irene yang tak terbaca tuntas.