Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan di Matos

17 September 2024   03:31 Diperbarui: 17 September 2024   03:35 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sumber Foto Paulus Hariadi/Constructionplusasia.com

Pesan singkat di ponsel itu kubaca dengan perasaan tidak percaya. Nomornya memang masih tersimpan di ponselku. Apakah benar ini berasal dari Triayoga Indrawati? Sosok wanita yang selama ini selalu mengisi setiap relung hatiku. 

Dua puluh tahun tidak bertemu sejak Tria diboyong suaminya ke Kuala Lumpur. Bertemu kembali memandang wajah rupawannya membuat hatiku berdebar tidak sabar. 

Matos atau Malang Town Square, jaraknya dari Kampus UB bisa ditempuh hanya beberapa menit saja. Namun rasanya seperti berjam-jam menuju ke sana untuk bertemu Tria. 

Kendaraan sengaja kuparkirkan di pinggir jalan Veteran persis di depan lobi Matos agar lebih mudah saat pulangnya nanti. Area ini adalah tempat kemacetan yang mejadi rutinitas. 

Bergegas menuju area Food court, tempat di mana Tria sepakat bertemu. Tetiba ada lambaian tangan dari seorang wanita. Benar yang melambaikan tangan itu adalah Tria, tengah duduk menunggu di meja pojok menghadap ke arahku. 

Kuhampiri wanita rupawan ini. Sejenak kupandang wanita yang pernah kukagumi ini. Dia tersenyum sambil memanggil namaku. 

“Hendarno!” Sebuah sapa dari Tria yang sudah lama tidak pernah terdengar di telingaku. Kutatap wajahnya, benar-benar tidak percaya.

“Benarkah ini Triayoga Indrawati?” Tanyaku sambil menatap wanita cantik di depanku. Tria hanya tersenyum sambil memandangku yang masih terpukau.

“Iya Hendarno Santoso. Ini aku ini Tria. Apakah ada yang berubah denganku?”  Tanya Tria masih tetap tersenyum.  

Aku takjub memandang wajah cantik di depanku. Tria yang sudah berusia 45 tahun ini masih tetap anggun padahal sudah memiliki putri yang sudah kuliah. 

Rambut panjangnya masih seperti dulu. Sepasang mata teduhnya masih seperti dulu. Senyum manisnya masih seperti dulu. Tutur kata lembutnya masih seperti dulu.

“Hei Hen, kenapa bengong. Hoooi!” Suara Tria sambil tangannya dilambaikan di depan wajahku. Akhirnya aku tersadar dan tertawa. 

“Tria! Aku terpukau. Kamu masih cantik seperti dulu. Sungguh.” Ujarku memuji dengan tulus.

“Gombalnya mulai keluar,” kata Tria sambil memandangku dengan wajah serius pura-pura marah. 

“Lho, benar-benar aku ngomong apa adanya,” kataku sungguh-sungguh. Mendengar pengakuanku, Tria hanya tersenyum. Dalam senyum itu selalu terpancar kecantikannya. 

Namun wanita separuh baya ini mendapat pujian dariku, wajahnya terlihat biasa saja, tidak merona merah seperti gadis-gadis ABG kalau menerima pujian. 

Atau memang wanita cantik seperti Tria ini sudah terbiasa kenyang dengan pujian. Sehingga tidak begitu berpengaruh banyak dengan pujian gombal dariku. 

“Hen, kamu juga tidak banyak berubah. Masih cool seperti dulu. Masih suka gombal. Masih suka bikin penasaran. Masih suka bikin bete,” kata Tria sambil tertawa. Sebaris giginya sangat rapi seperti gigi bintang iklan pasta gigi di televisi.

“Lho yang terakhir itu aku gak setuju. Kok bisa bikin bete?” Tanyaku protes. Mendengar ini Tria hanya tertawa.

Suasana pertemuan itu sangat mengesankan. Menikmati makanan dan minuman di Food court sambil berbincang melepaskan rindu yang sudah lama mengendap di dasar hati masing-masing. 

“Pak Dosen tadi langsung dari Kampus ke sini?” Tanya Tria.

“Betul karena kamu yang pintar bikin janjian di Matos yang dekat dengan Kampus,” kataku singkat. Tria kembali tertawa riang. “Iya dong gini-gini kan aku masih Arek Malang.” 

“Aku sebenarnya ingin mengajakmu ke sekolah kita dulu di SMA Tugu.”

“Boleh juga tapi nanti dulu aku belum bisa, sore ini ketempatan arisan Ibu-ibu di Perumahan,” kata Tria.

Ketika aku mengutarakan sudah berapa tahun tidak bertemu dengannya. Nampak raut wajah wanita ini begitu muram. Mungkin teringat saat saat perpisahan itu. Perpisahan yang sangat menyakitkan hampir 20 tahun yang lalu.

Menjalin hubungan cinta sejak SMA sampai di bangku kuliah adalah waktu yang sangat berarti bagiku. Cinta Tria sampai sekarang masih belum tergantikan wanita manapun. 

Saat-saat perpisahan itupun menjadi catatan paling menyedihkan, baik bagiku maupun Tria. 

“Sejak kita wisuda kita sudah tidak ketemu lagi. Kamu diboyong suamimu ke Malaysia,” kataku dengan suara pelan.

Saat itu Tria menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya. Katanya masih kerabat. Lelaki itu bekerja sebagai Dosen di Malaysia. Perjodohan tersebut sudah disepakati sejak mereka masih kecil.

“Sudahlah Hen. Maafkan aku,” kata Tria dengan suara tersendat. Terlihat wajahnya berubah murung.

Terbayang saat itu aku harus berpisah dengannya. Perpisahan yang sangat pedih. Bagaimanapun bagiku, Tria selalu menjadi bayang-bayang hidupku. 

Bagaimana tidak. Tria selalu bersama sejak SMA hingga lulus Perguruan Tinggi. Lalu harus berpisah begitu saja hanya karena arogansi orang tuanya dengan perjodohan antar kerabat.

“Aku kagum padamu Hendarno. Perpisahan kita dulu tidak berakhir dengan saling membenci,” suara Tria penuh sendu.

Mendengar nada suaranya, sangat terasa ada sesal yang mendalam dari relung hati wanita cantik pujaanku ini. Memang Tria tidak bersalah sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua, maka dirinya harus patuh. 

“Tria sebaiknya lupakan saja yang sudah berlalu. Ayo kita rayakan pertemuan kita ini dengan rasa gembira. Ayo dong kamu tersenyum lagi,” kataku sambil menatap wanita rupawan di depanku ini.

Wanita berwajah anggun itu balas menatapku. Ya Tuhan sepasang mata teduhnya itu masih indah seperti dulu. Triapun tersenyum membalas tatapanku.

“Aku membawa kabar baik buatmu Hen!”

“Kabar apa?” Tanyaku. 

“Aku sekarang sudah tidak tinggal di Kuala Lumpur,” jawab Tria.

“Lalu suamimu juga ikut pulang?” Tanyaku. Tria mengangguk pelan.

“Rumah orang tuamu di Sawojajar masih ditempati?”

“Ayah dan Ibu sudah wafat. Rumah itu sudah dijual.” Jelas Tria.

“Lalu kamu tinggal di mana?”   

“Nanti kukirim alamat rumahku di Malang melalui ponsel saja. Kamu harus datang mengunjungiku ya.”

“Kenapa tidak sekarang saja katakan alamat rumahmu!” 

“Tidak kenapa-kenapa. Biar kamu penasaran,” kata Tria sambil tertawa. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala.

“Baiklah Bos! Nanti aku akan bersilaturahmi ke rumahmu sambil berkenalan dengan suami dan anak gadismu.”

“Oke Hen! Pertemuan ini sangat menyenangkan. Kutunggu kunjunganmu,” harap Tria dengan suara yang mantap.

Alamat rumahnya ternyata di sebuah perumahan dekat Terminal Arjosari. Kulihat alamat itu dalam google map. Sebuah rumah asri berpagar hijau muda. Ada Taman mungil di halaman depan. 

Aku membuka pintu pagar ternyata tidak dikunci. Di depan pintu ruang tamu itu kuucapkan salam dan terdengar balasan dari Tria. Wanita cantik itu sudah berdiri di depanku sambil tersenyum.

“Akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk Hen!” Tria mempersilakan aku masuk.

“Rumah yang penuh dengan senyum. Tria sudah lama tinggal di sini?” Tanyaku.

“Sudah dua tahun tinggal di sini?”

“Lama dua tahun tapi kenapa baru mengabariku kemarin?” 

“Aku sebenarnya ragu mau kontak kamu. Aku masih merasa bersalah. Tapi semakin lama malah aku semakin ingin bertemu kamu. Maafkan aku ya.” Kata Tria sambil menatapku.

Setiap Tria menatapku, sepasang matanya yang teduh itu selalu membuatku merasa tenteram dan damai.

“Iya sudahlah yang lalu biarlah berlalu. Oh ya mana anak gadismu?” Tanyaku penasaran karena rumah ini terasa sepi.

“Intan, anakku kuliah di Bandung.”

“Suamimu?” 

Mendapat pertanyaan ini Tria benar-benar hanya mampu terdiam. Wajahnya tertunduk, terlihat muram menggambarkan duka. 

Kemudian perlahan wanita jelita itu berkata: “Aku sebenarnya ingin bercerita padamu tapi tidak mampu menahan rasa duka ini,” suara Tria tersendat. Bibirnya seperti terkunci dan kulihat matanya berkaca-kaca.

“Ayo berceritalah agar beban di hatimu bisa lepas,” pintaku. Mendengar permitaanku ini malah Tria mulai terisak. 

“Hen, sebenarnya suamiku sudah tiada dua tahun yang lalu dan aku memutuskan untuk kembali ke Malang. Berharap bertemu denganmu." Suara Tria masih sambil terisak. Kuucapkan rasa duka yang dalam. 

"Maafkan Hen atas kelancanganku ingin bertemu denganmu tanpa persetujuan istrimu,” ada rasa sesal dari kalimat yang diucapkan wanita berparas jelita ini. “Aku seharusnya bisa menjaga perasaan istrimu.” 

Tria merasa bersalah. Aku tersenyum mendengarnya. Rupanya dia melihat aku senyum-senyum sehingga membuatnya penasaran. 

"Kenapa senyum-senyum?" Tanyanya. 

“Gak apa-apa. Karena aku belum punya istri,” kataku mantap. Kulihat Tria menatapku tak berkedip. Mata teduhnya masih basah dengan air mata.

“Maksudmu Hen?” Tanya Tria masih memandangku tak percaya. 

“Aku belum menikah. Dua puluh tahun aku selalu merindukanmu,” kataku sambil memandang wanita cantik itu yang saat itu benar-benar terperangah.

Tria memandangku seakan tidak percaya kalau aku sampai saat ini belum menikah seakan selalu menunggunya. Wanita anggun itu menatapku dengan mata yang bercahaya. Akhirnya Tria menumpahkan tangis bahagianya dalam pelukanku. 

Salam bahagia @hensa17

****

Hendro Santoso, seorang Pensiunan penggemar Cerpen, Puisi dan Novel. Aktif menulis mengisi rubrik olah raga. Silakan singgah di Kompasiana.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun