Rambut panjangnya masih seperti dulu. Sepasang mata teduhnya masih seperti dulu. Senyum manisnya masih seperti dulu. Tutur kata lembutnya masih seperti dulu.
“Hei Hen, kenapa bengong. Hoooi!” Suara Tria sambil tangannya dilambaikan di depan wajahku. Akhirnya aku tersadar dan tertawa.
“Tria! Aku terpukau. Kamu masih cantik seperti dulu. Sungguh.” Ujarku memuji dengan tulus.
“Gombalnya mulai keluar,” kata Tria sambil memandangku dengan wajah serius pura-pura marah.
“Lho, benar-benar aku ngomong apa adanya,” kataku sungguh-sungguh. Mendengar pengakuanku, Tria hanya tersenyum. Dalam senyum itu selalu terpancar kecantikannya.
Namun wanita separuh baya ini mendapat pujian dariku, wajahnya terlihat biasa saja, tidak merona merah seperti gadis-gadis ABG kalau menerima pujian.
Atau memang wanita cantik seperti Tria ini sudah terbiasa kenyang dengan pujian. Sehingga tidak begitu berpengaruh banyak dengan pujian gombal dariku.
“Hen, kamu juga tidak banyak berubah. Masih cool seperti dulu. Masih suka gombal. Masih suka bikin penasaran. Masih suka bikin bete,” kata Tria sambil tertawa. Sebaris giginya sangat rapi seperti gigi bintang iklan pasta gigi di televisi.
“Lho yang terakhir itu aku gak setuju. Kok bisa bikin bete?” Tanyaku protes. Mendengar ini Tria hanya tertawa.
Suasana pertemuan itu sangat mengesankan. Menikmati makanan dan minuman di Food court sambil berbincang melepaskan rindu yang sudah lama mengendap di dasar hati masing-masing.
“Pak Dosen tadi langsung dari Kampus ke sini?” Tanya Tria.