“Aku sebenarnya ragu mau kontak kamu. Aku masih merasa bersalah. Tapi semakin lama malah aku semakin ingin bertemu kamu. Maafkan aku ya.” Kata Tria sambil menatapku.
Setiap Tria menatapku, sepasang matanya yang teduh itu selalu membuatku merasa tenteram dan damai.
“Iya sudahlah yang lalu biarlah berlalu. Oh ya mana anak gadismu?” Tanyaku penasaran karena rumah ini terasa sepi.
“Intan, anakku kuliah di Bandung.”
“Suamimu?”
Mendapat pertanyaan ini Tria benar-benar hanya mampu terdiam. Wajahnya tertunduk, terlihat muram menggambarkan duka.
Kemudian perlahan wanita jelita itu berkata: “Aku sebenarnya ingin bercerita padamu tapi tidak mampu menahan rasa duka ini,” suara Tria tersendat. Bibirnya seperti terkunci dan kulihat matanya berkaca-kaca.
“Ayo berceritalah agar beban di hatimu bisa lepas,” pintaku. Mendengar permitaanku ini malah Tria mulai terisak.
“Hen, sebenarnya suamiku sudah tiada dua tahun yang lalu dan aku memutuskan untuk kembali ke Malang. Berharap bertemu denganmu." Suara Tria masih sambil terisak. Kuucapkan rasa duka yang dalam.
"Maafkan Hen atas kelancanganku ingin bertemu denganmu tanpa persetujuan istrimu,” ada rasa sesal dari kalimat yang diucapkan wanita berparas jelita ini. “Aku seharusnya bisa menjaga perasaan istrimu.”
Tria merasa bersalah. Aku tersenyum mendengarnya. Rupanya dia melihat aku senyum-senyum sehingga membuatnya penasaran.