"Atau karena kamu adalah putri tunggal yang sudah lama menyendiri. Papa ingin melihat kamu bahagia dalam pernikahan ini, ingin menghapus segala kekecewaan masa lalumu."
"Papa ingin segera mendapatkan seorang cucu darimu yang selama ini sangat beliau rindukan." Satrio melanjutkan.
Aku termenung mendengar uraian Satrio Wibowo. Ada perasaan haru yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Kupandang wajah teduh suamiku penuh cinta.
"Bukankah perkawinan hanya sebuah awal perjalanan berikutnya. Bukan megahnya sebuah resepsi, bukan indahnya malam pertama tapi tantangan-tantangan, cobaan-cobaan yang harus kita lewati." Suara Satrio memecah lamunanku.
Kalimat yang terakhir ini kucerna baik-baik, kusimpan dalam sanubari agar suatu saat dengan mudah dapat kuingat kembali.
Perkawinan hanyalah sebuah awal perjalanan berikutnya, bukan megahnya sebuah resepsi dan bukan pula indahnya malam pertama tapi cobaan-cobaan, tantangan-tantangan yang harus dihadapi.
Sungguh sebuah ungkapan yang sangat indah. Satrio dengan mudah bisa mengungkapkan sebuah realita hidup.
Akhirnya pada waktu itu Satrio berhasil meyakinkan Papa sebuah alasan mengapa pernikahan cukup dengan perayaan sederhana.
Saat itu ketika Papa menanyakan alasan, mengapa aku tidak menyetujui sebuah pesta pernikahan, aku telah berbuat tidak jujur kepada diriku sendiri.
Mengapa saat itu tidak kukatakan saja bahwa pesta pernikahan meriah seperti keinginan Papa itu sudah terlambat bagiku. Seharusnya aku jujur kepada diriku sendiri.
Mungkin andainya dulu aku jadi menikah dengan Prasaja Utama, maka ceritanya bisa lain. Sebuah pesta meriah sangat kunantikan.