Malam Jumat Purnama semakin mendekati tengah malam yang kelam. Suasana dusun itu benar-benar sangat sepi mencekam. Jangankan suara manusia, suara binatang malam seperti jengkerik saja tidak berani bersuara.
Rumah-rumah di dusun itu saling berjauhan. Sehingga antara penduduk satu dengan lainnya sangat terbatas dalam berkomunikasi.
Malam Jumat yang mencekam itu berakhir hingga waktu Subuh tiba. Tidak ada tanda-tanda adanya kejadian yang menakutkan.
Namun seiring hari pagi semakin terang tampak di sebuah rumah penduduk terdengar tangisan memilukan.
Sebuah pemandangan menyedihkan ketika seorang penduduk terbaring dengan wajah bekas gigitan dan hisapan hewan sejenis kelelawar.
Tetangga terdekat menjadi saksi pada malam menjelang Subuh itu ada ribuah kelelawar keluar dari rumah korban.
Di kamar itu dua anak dan seorang istri meratapi dengan tangisan kematian lelaki yang terbujur di atas dipan itu.
Penduduk Suluh Hawu harus kembali menghadapi kenyataan adanya tumbal untuk Iblis bermata satu yang selama ini menjadi mitos mereka.
Penduduk di sana kembali heboh karena yang menjadi korban adalah pemuka masyarakat yang kerap kali memberontak pada kebijakan Kepala Dusun.
Kejadian ini sudah berlangsung tiga kali. Semua korban adalah orang-orang yang selama ini menantang kepala dusun, Arang Geni.
Mereka, penduduk dusun itu, selalu mewaspadai tanda-tanda tumbal itu yang selama selalu terjadi pada malam Jumat bulan Purnama.