Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Tumbal Ilmu Hitam

7 Juli 2023   07:27 Diperbarui: 7 Juli 2023   09:42 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ilmu hitam Foto by Shutterstock via Kompas.com 

Sejak Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) bubar pada akhir tahun 1799, Pemerintah Kerajaan Belanda membentuk pemerintahan baru di Hindia Belanda dengan dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal pertama Hindia Belanda saat itu adalah Herman Willem Daendels yang berkuasa antara tahun 1808-1811.

Gubernur Jenderal Daendels melakukan perubahan total tata kelola pemerintahan yang selama ini dijalankan oleh VOC.

Jika dulu penguasa-penguasa kecil dari mulai dusun, kewedanan sampai pejabat setingkat kabupaten diberikan kebebasan mengelola daerahnya, maka kini mereka tidak lagi memiliki kekuasaan.

Mereka harus patuh hanya satu perintah yaitu langsung di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal.

Maka sangat wajar pada awal-awal Gubernur Jenderal Daendels berkuasa, sering terjadi pergolakan yang panas antara raja-raja kecil di daerah dengan pemerintah Hindia Belanda.

Namun demikian penjajah kolonial Belanda berhasil menumpas mereka yang melakukan pemberontakan di daerah-daerah.

Pada tahun-tahun 1880-an itu, kondisi dan situasi Banten berada dalam genggaman kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda.

Saat itu Banten adalah daerah dengan ekonomi agrarisnya dan para nelayan di pesisir pantai hidup.

Mereka mengalami keterpurukkan karena harus menghadapi kesewenangan penjajah Kolonial Belanda.

Para penduduk desa wajib bercocok tanam dengan menanam padi. Namun hasil panennya sebagian besar untuk upeti bagi Pemerintah Kolonial.

Selain bercocok tanam, sebagian penduduk desa lainnya mencari nafkah dengan menjadi pedagang. Atau mereka yang tinggal di pesisir Barat, Utara dan Selatan menjadi nelayan.

Terdapat pula kelompok petani yang melakukan berbagai kerajinan dan pekerjaan untuk memperoleh penghasilan tambahan.

Bagi penduduk Dusun Suluh Hawu, sudah dua tahun ini panen mereka jauh menurun karena musim kering yanga panjang.

Belum lagi mereka harus menyetorkan hasil pertanian mereka kepada kepala dusun sebagai kepanjangan tangan dari Hindia Belanda.

Arang Geni, yang akrab dipanggil dengan Aki Geni adalah Kepala Dusun Suluh Hawu itu sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini berkuasa.

Arang Geni benar-benar menjadi pamongnya Hindia Belanda. Menarik pajak hasil pertanian dengan sewenang-wenang untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Beberapa kali terjadi pemberontakan oleh pemuka-pemuka dusun yang ada di sana untuk melengserkannya.

Namun mereka tidak pernah berhasil dan harus gugur mengenaskan karena kesaktian kepala dusun itu tidak bisa dikalahkan.

Rupanya Aki Geni memiliki ilmu sesat yang sulit ditundukkan oleh para jawara setempat.

Salah satu ilmu sesat itu adalah ilmu kebal terhadap senjata tajam atau peluru.

Dalam memperdalam ilmu hitam itu, Aki Geni melakukan perjanjian hitam dengan Iblis penghuni Leuweung Hideung.

Dalam kesepaktannya dengan Iblis bermata satu, Aki Geni bersedia menyediakan tumbal yang diminta oleh Iblis tersebut biasanya pada setiap malam Jumat bulan Purnama.

Suasana malam di Dusun Suluh Hawu sangat mencekam. Tidak ada satu penduduk yang berani keluar dari rumah mereka.

Malam ini adalah malam Jumat Purnama. Penduduk di dusun itu mempercayai sebuah tahayul datangnya arwah jahat menagih tumbal untuk dusun tersebut.

Mungkin itulah sebabnya para penduduk tidak ada yang berani keluar rumah selepas Maghrib tadi.

Masyarakat Banten saat itu masih sangat kental mempercayai tahayul-tahayul sesat. Kepercayaan sisa-sisa masyarakat lama yang lebih meyakini adanya ruh-ruh jahat yang menguasai mereka.

Di Dusun Suluh Hawu itu, tahayul adanya Iblis bermata satu dari Leuweung Hideung menjadi bukti bagi pembenaran kepercayaan sesat bagi penduduk setempat.

Salah satu tumbal yang menjadi bukti bagi masyarakat itu adalah kematian Ariaraja yang mengerikan. Ariaraja adalah anak kesayangan Arang Geni yang akrab dipanggil Aki Geni, Kepala Dusun Suluh Hawu.

Sejak kematian Ariaraja, penduduk dusun itu kembali meyakini bahwa kutukan yang menimpa dusun mereka kembali datang seperti terjadi beberapa puluh tahun sebelumnya.

Para penduduk itu sangat terharu ketika pada upacara pemakaman Ariaraja, kepala dusun yang juga adalah ayah dari korban terlihat sangat sedih.

Ki Geni, kepala dusun itu, tidak lupa mengingatkan masyarakat harus waspada dengan kutukan yang kembali menimpa dusun mereka.

Masyarakat dusun itu tidak tahu sebenarnya Ariaraja adalah tumbal dari Ilmu hitam yang tengah ditekuni oleh Ki Geni, ayahnya sendiri.

Malam Jumat Purnama semakin mendekati tengah malam yang kelam. Suasana dusun itu benar-benar sangat sepi mencekam. Jangankan suara manusia, suara binatang malam seperti jengkerik saja tidak berani bersuara.

Rumah-rumah di dusun itu saling berjauhan. Sehingga antara penduduk satu dengan lainnya sangat terbatas dalam berkomunikasi.

Malam Jumat yang mencekam itu berakhir hingga waktu Subuh tiba. Tidak ada tanda-tanda adanya kejadian yang menakutkan.

Namun seiring hari pagi semakin terang tampak di sebuah rumah penduduk terdengar tangisan memilukan.

Sebuah pemandangan menyedihkan ketika seorang penduduk terbaring dengan wajah bekas gigitan dan hisapan hewan sejenis kelelawar.

Tetangga terdekat menjadi saksi pada malam menjelang Subuh itu ada ribuah kelelawar keluar dari rumah korban.

Di kamar itu dua anak dan seorang istri meratapi dengan tangisan kematian lelaki yang terbujur di atas dipan itu.

Penduduk Suluh Hawu harus kembali menghadapi kenyataan adanya tumbal untuk Iblis bermata satu yang selama ini menjadi mitos mereka.

Penduduk di sana kembali heboh karena yang menjadi korban adalah pemuka masyarakat yang kerap kali memberontak pada kebijakan Kepala Dusun.

Kejadian ini sudah berlangsung tiga kali. Semua korban adalah orang-orang yang selama ini menantang kepala dusun, Arang Geni.

Mereka, penduduk dusun itu, selalu mewaspadai tanda-tanda tumbal itu yang selama selalu terjadi pada malam Jumat bulan Purnama.

Masyarakat kembali gempar dengan kematian mengerikan dari salah seorang penduduk tersebut.

Sementara itu Arang Geni, Kepala Dusun Suluh Hawu itu masih melakukan semedi di rumahnya pada sebuah ruangan khusus yang terasa sangat mistis.

Bau kemenyen yang berasal dari asap yang pekat menusuk hidung. Terlihat mulut Aki Geni seperti membacakan kalimat-kalimat yang tidak jelas terdengar karena dilakukan dengan setengah berbisik.

Tetiba seperti ada angina bertiup sangat keras. Aki Geni langsung bersujud di hadapan sosok kepala tanpa tubuh dengan wajah penuh belatung dan hanya bermata satu.

Iblis itu menyeringai lalu pelahan mencium kening Aki Geni. Bau busuk seperti bangkai manusia memenuhi ruangan penuh mistis itu.

Ketika Aki Geni bangun dari posisi sujudnya, Iblis itu sudah pergi. Ruangan semedi itu kembali normal.

Ada kelegaan dari wajah Aki Geni setelah dia berhasil mempersembahkan tumbal yang dia janjikan kepada Iblis itu.

Setiap selesai mempersembahkan tumbal, ilmu kebalnya semakin kuat. Jika tidak ada tumbal maka ilmu itu akan hilang dari tubuhnya.

“Sampai nanti Malam Purnam Jumat yang akan datang.” Bisik Aki Geni sekan dia tujukkan kepada Iblis itu.

Berita kematian mengerikan yang menimpa salah satu penduduk Sulu Hawu terdengar juga ke telinga Aki Damar dan Bayu Gandana.

“Sudah Tiga orang yang meninggal mengerikan termasuk Ariaraja.”

“Menurut Aki kira-kira kematian tersebut wajar atau tidak?” Tanya Bayu.

Pemuda ini hanya berpura-pura karena sebenarnya dia tahu bahwa kematian itu tidak wajar.

“Tidak wajar. Kematiannya hasil pekerjaan sesorang,” kata Aki Damar sambil menatap Bayu penuh khawatir.

“Sama dengan yang menimpa Ariaraja.” Lanjutnya.

Bayu Gandana sebenarnya tengah berpikir keras untuk mengetahui siapa pelaku yang melakukan perbuatan biadab tersebut.

Ketika ribuan kelelawar masuk ke rumah salah satu penduduk dan menyerang dengan mengisap darah penghuni rumah itu.

Pagi itu Bayu bersama Ki Damar, sempat bertakziah ke rumah duka.

Anak muda ini merasakan ada sesuatu yang sangat kuat menyerang titik batinnya di rumah kejadian tersebut.

Rupanya jejak-jejak aura jahat itu masih tersisa di rumah itu. Bayu bahkan merasakan ketika saat bertemu dengan kepala dusun yang juga melakukan takziah, ada unsur-unsur iblis dalam tubuh kepala dusun itu.

Ilmu penyentuh qolbu yang dia miliki rupanya mampu melakukan pelacakan ruh jahat dalam diri kepala dusun itu.

Pemuda itu kini harus mewaspadai Aki Geni sebagai kepala dusun Suluh Hawu.

Dengan kejadian ini, Bayu Gandana untuk yang kesekian kalinya harus mengurungkan pengembaraannya menuju Utara.

Bayu kembali menunda melanjutkan perjalan dan tetap tinggal di Desa Suluh Hawu untuk menyelesaikan sebuah kewajiban demi ketenteraman penduduk setempat.

Pada perjumpaan dengan kepala dusun itu, mereka sempat bersalaman. Saat itulah Bayu bisa merasakan aliran darah panas yang menusuk titik-titik batinnya.

Darah panas yang selalu haus pada kematian korban untuk sebuah tumbal. Sungguh sangat biadab ilmu hitam yang dimiliki oleh Arang Geni.

Bagi Bayu kini yang penting adalah Dusun Suluh Hawu ini kembali tenteram dan damai. Inilah alasan utama pemuda ini tetap tinggal lebih lama di Dusun tersebut.

@hensa17. 

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun