Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Puber Kedua di Bulan Desember

23 Desember 2020   14:28 Diperbarui: 23 Desember 2020   18:29 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto by Pixabay

Erika Amelia Mawardini adalah sosok yang sangat istimewa bagiku. Terus terang saja, kalau bukan karena wanita ini, aku tidak akan menghadiri acara Reuni SMA ini. 

Aku dikabari Tiana, sobat dekatnya, bahwa Erika mau hadir dalam acara reuni itu. 

"Kamu hadir ya Hen!" pinta Tiana lewat posel di ujung sana. Aku hanya diam. 

"Hensa, kenapa kamu diam saja. Erika mau datang lho," suara Tiana kembali merajukku. Mendengar nama Erika entah kenapa aku jadi bersemangat. 

"Iya. Oke,oke Tia!" Jawabku tegas. Terdengar suara tertawa Tiana. 

"Kenapa kamu ketawa?"

"Iyalah, kalau Erika datang, pasti kamu mau datang. Mangkanya aku ketawa senang."

"Tapi benar enggak, Erika mau datang?" Tanyaku mulai ragu. Jangan-jangan Erika belum tentu datang. 

"Kamu tidak percaya Hen? Tadi malam Erika sudah aku beritahu bahwa kamu mau datang. Jadi dia juga mau datang ke acara itu." 

 "Hai Tiana. Kok kamu sudah bilang aku akan datang padahal kamu baru sekarang menghubungiku?" Aku sedikit protes. Kembali terdengar suara tawa Tiana. 

Ini kerjaan klasik Tiana, selalu saja punya ide gila untuk mempertemukan aku dan Erika. Selama ini Tiana adalah sahabat yang sangat loyal dan sangat mendukung hubunganku dengan Erika.  

Sudah berapa puluh tahun aku tidak bertemu Erika. Sejak Erika menikah, dia ikut bersama suaminya pindah ke Medan. Peristiwa itu sekitar 30 tahun yang lalu. Sudah begitu lama dan sejak perpisahan itu aku sama sekali tidak pernah bertemu Erika. 

Aku jadi teringat masa-masa SMA bersama Erika. Atau saat kuliah setiap pulang praktikum Kimia di Kampus Pajajaran itu, kami pulang menyusuri trotoar Kebun Raya sambil menikmati senja yang temaran. Erika tinggal bersama orang tuanya di Jalan Pangrango. 

Saat yang tidak pernah aku lupakan adalah ketika harus merelakan Erika bertunangan dengan pilihan orang tuanya yang sekarang menjadi suaminya. Restoran di ujung Jalan Surya Kencana itu menjadi saksi bisu.

Erika, wanita cantik bermata indah itu berurai air mata mengucapkan kata perpisahannya kepadaku. Perbedaan keyakinan di antara kami harus memisahkan dua insan yang saling mencintai. Aku benar-benar sangat realistis menyikapi kejadian tersebut. 

Masih ingat ketika aku menghapus air mata yang jatuh di pipinya di tengah isaknya. Masih terasa juga pelukan eratnya seakan Erika tidak mau berpisah denganku. Peristiwa itu rasanya baru kemarin terjadi. 

Kota Bogor pada hari Minggu pagi bulan Desember ini cerah, sangat mendukung acara reuni SMA. Aku segera meluncur menuju jalan Ir Juanda untuk menghadiri acara yang sudah aku tunggu lama sekali. 

Aku sebenarnya bukan menunggu acara reuninya tapi menunggu momen bertemu dengan Erika Amelia Mawardini. 

Memasuki gerbang sekolah kemudian mengisi absensi kehadiran. Mulai membaur dengan para peserta reuni lainnya. 

Banyak yang tidak aku kenal diantara mereka. Mungkin mereka adalah angkatan yang lebih muda beberapa tahun. Bangunan Smansa ini juga tidak begitu banyak berubah.  

"Hen!" Terdengar seseorang memanggilku. Aku sangat mengenal suara merdu itu. 

"Erika!" Aku bergegas menghampiri meja di mana Erika berada. 

Kutatap wanita di depanku ini. Kami membisu hanya mampu saling berpandangan. Erika masih anggun seperti dulu. 

Rambutnya masih panjang terurai indah sebatas bahu. Dia menatapku dengan matanya yang teduh. Ada seulas senyumnya yang khas sangat menenteramkan hati. 

"Rika, apa kabar?" 

"Baik, kamu Hen?" 

"Baik. Tiga puluh tahun ya kita tidak bertemu."

"Iya tidak terasa ya. Kamu punya anak berapa?" 

"Dua, laki-laki dan perempuan. Mereka sekarang sudah kuliah di Bandung."

"Kamu masih dosen di Bogor?" 

"Iya tapi seminggu sekali pulang ke Bandung. Istriku menemani anak-anak di sana." 

"Hen, aku seperti mimpi bisa ketemu kamu," suara Erika masih dalam tatapan matanya memandangku. 

"Iya aku juga begitu Ri." 

"Anakku dua semuanya perempuan. Sekarang mereka sudah berkeluarga."

"Wah sudah punya cucu dong." 

"Belum. Anakku yang pertama masih sedang mengandung. Perhitungan dokter bulan depan melahirkan." 

"Semoga lancar persalinannya." Erika meng "amin" kan doaku. 

Kami meninggalkan acara reuni yang berlangsung sangat membosankan. Di panggung hiburan ada band membawakan lagu-lagu jadul. Tempat yang kami tuju adalah restoran di ujung Jalan Surya Kencana. 

Mengambil tempat duduk di pojok dekat jendela yang mengarah ke jalan di depan Pintu Gerbang Kebun Raya. Ini adalah tempat dimana aku harus melepas Erika bertunangan dengan pilihan orang tuanya. 

"Hen, kenapa kamu mengajakku ke sini?" Tanya Erika. 

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kembali mengenang peristiwa penting dalam hidupku." 

Mendengar ini Erika hanya tertunduk. Aku mengamati kecantikan wajahnya. Wanita dengan usia yang sudah berkepala lima ini masih pandai merawat tubuhnya. Erika masih terlihat ramping.

"Hensa. Aku tidak mau mengenang kembali peristiwa tiga puluh tahun lalu di tempat ini." 

"Rika, maafkan aku ya. Aku tidak bermaksud begitu." 

"Terlalu pedih aku mengingat peristiwa di tempat ini. Aku sudah kehilangan orang yang aku cintai." Kata Erika dan wanita cantik ini mulai terisak. Aku hanya terpaku memandang Erika. Persis kejadian 30 tahun lalu di tempat yang sama. 

Saat itu aku masih bisa memegang kedua tangannya dan membisikkan kata untuk menguatkan hatinya. Tetapi sekarang aku hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa. 

"Hensa. Maafkan aku. Dari tempat jauh aku hadir dalam reuni ini untuk menguatkan kenyataan yang terjadi di antara kita. Masa lalu sudah berlalu dan masa depan adalah hidup kita. Kita harus menyongsong kebahagian bersama keluarga tercinta." Aku termenung mendengar perkataan Erika Amelia Mawardini. 

Sungguh aku sudah terbawa hanyut belenggu masa lalu. Benar Erika, seharusnya pertemuan ini justru semakin menguatkan kenyataan yang ada di antara kita. 

@hensa  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun