Ini kerjaan klasik Tiana, selalu saja punya ide gila untuk mempertemukan aku dan Erika. Selama ini Tiana adalah sahabat yang sangat loyal dan sangat mendukung hubunganku dengan Erika. Â
Sudah berapa puluh tahun aku tidak bertemu Erika. Sejak Erika menikah, dia ikut bersama suaminya pindah ke Medan. Peristiwa itu sekitar 30 tahun yang lalu. Sudah begitu lama dan sejak perpisahan itu aku sama sekali tidak pernah bertemu Erika.Â
Aku jadi teringat masa-masa SMA bersama Erika. Atau saat kuliah setiap pulang praktikum Kimia di Kampus Pajajaran itu, kami pulang menyusuri trotoar Kebun Raya sambil menikmati senja yang temaran. Erika tinggal bersama orang tuanya di Jalan Pangrango.Â
Saat yang tidak pernah aku lupakan adalah ketika harus merelakan Erika bertunangan dengan pilihan orang tuanya yang sekarang menjadi suaminya. Restoran di ujung Jalan Surya Kencana itu menjadi saksi bisu.
Erika, wanita cantik bermata indah itu berurai air mata mengucapkan kata perpisahannya kepadaku. Perbedaan keyakinan di antara kami harus memisahkan dua insan yang saling mencintai. Aku benar-benar sangat realistis menyikapi kejadian tersebut.Â
Masih ingat ketika aku menghapus air mata yang jatuh di pipinya di tengah isaknya. Masih terasa juga pelukan eratnya seakan Erika tidak mau berpisah denganku. Peristiwa itu rasanya baru kemarin terjadi.Â
Kota Bogor pada hari Minggu pagi bulan Desember ini cerah, sangat mendukung acara reuni SMA. Aku segera meluncur menuju jalan Ir Juanda untuk menghadiri acara yang sudah aku tunggu lama sekali.Â
Aku sebenarnya bukan menunggu acara reuninya tapi menunggu momen bertemu dengan Erika Amelia Mawardini.Â
Memasuki gerbang sekolah kemudian mengisi absensi kehadiran. Mulai membaur dengan para peserta reuni lainnya.Â
Banyak yang tidak aku kenal diantara mereka. Mungkin mereka adalah angkatan yang lebih muda beberapa tahun. Bangunan Smansa ini juga tidak begitu banyak berubah. Â
"Hen!" Terdengar seseorang memanggilku. Aku sangat mengenal suara merdu itu.Â