Listya hanya tersenyum dan itu senyum milik Diana Faria. Senyum masa laluku.
"Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dan Bu Kinan," suara Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
"Maaf Pak Alan. Saya menangis, namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya," suara Listya pelan penuh rasa haru.
Kembali aku hanya bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus tetes air mata yang mengalir di pipinya namun aku tidak kuasa.
Aku hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur. Namun aku sadar ternyata takdir yang Allah berikan kepadaku bukan menikah denganmu. Atau takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Itulah takdir kita, Listya. Â
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul 'Puspita Hatiku' yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya.
Lalu ada sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai kapanpun:"Saya menangis, namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya"
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, seperti halnya Diana Faria namun fakta di hadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku.
Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti Puspitasari adalah istriku. Dengan izinMu juga aku memulai hidup baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H