Saat ini aku berada diantara kebahagiaan menempuh masa depan dengan Kinanti Puspitasari dan rasa duka Daisy Listya karena kepergian suaminya untuk selamanya.
Sungguh keberadaan yang sangat sulit yang harus kuhadapi. Listya sedang berduka sedangkan Kinanti berbahagia. Dua kondisi yang bertolak belakang.
Seperti saat malam itu Kinanti menerima telponku dengan penuh keceriaan. Bagaimana tidak, malam itu kami sedang membicarakan tentang acara lamaran sekaligus menentukan tanggal pernikahan.
Aku seakan tidak percaya pada akhirnya aku menikah juga dengan seorang pendamping hidupku. Aku seakan lebih tidak percaya lagi ternyata calon istriku adalah Kinanti Puspitasari, teman SMA yang dulu pernah menolak menjadi pacarku.
Sungguh sesuatu yang menakjubkan dalam perjalanan hidupku bahwa nanti pada hari pernikahan itu yang menjadi istriku adalah Kinanti Puspitasari. Aku yakin mungkin inilah takdirku.
Ternyata kabar pernikahanku dengan Kinanti rupanya sampai juga kepada Daisy Listya. Sore itu ketika aku baru saja tiba di rumah, aku menerima telpon dari Listya.
"Pak Alan. Selamat untuk rencana pernikahannya dengan Bu Kinan," kata Listya.
"Terima kasih Listya," jawabku pendek.
"Tadi pagi Bu Kinan memberi saya kabar tentang rencana pernikahannya dengan Pak Alan. Saya sangat gembira mendengar kabar ini," suara Listya penuh haru.
"Listya sekali lagi terima kasih. Mohon doa restunya saja agar semua rencana itu berjalan dengan baik," kataku.
"Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan, " suara Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
"Hallo, hallo, hallo, Listya?" Aku berusaha menyapanya melalui ponsel itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
"Hallo Listya!"
"Iya Pak!" Jawab Listya.
"Listya baik-baik saja?"
"Baik-baik Pak. Tidak apa-apa. Ok Pak Alan, saya pamit dulu," kata Listya sambil menutup ponselnya.
Dari nada bicaranya Listya tampaknya bersedih. Apakah bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti? Wanita selalu sulit diduga perasaan hatinya.
Saat ini aku sudah lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku. Â Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas. Daisy Listya masih memungkinkan mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku.
Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium yang biasanya dikerjakan hari Sabtu, sengaja aku majukan menjadi Jumat siang. Â Hal ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti.
Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus itu aku segera bergegas kembali ke ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah.Â
Selesai makan siang segera aku menuju Laboratorium yang jaraknya dari Gedung Fakultas hanya sekitar 50 meter. Siang itu Laboratorium sepi tidak ada satupun mahasiswa yang menggunakan instrumen analisis. Biasanya mereka menggunakan instrumen analisis untuk penelitian skripsi pada hari Sabtu.
Aku bekerja di ruang itu penuh dengan ketelitian mengingat data yang aku kompilasi ini untuk digunakan sebagai data pelengkap pengajuan patent suatu produk farmasi. Aku bekerja penuh semangat sehingga sebelum Ashar semua data sudah diolah dan siap disajikan.
Aku tersenyum sendiri ketika aku menyadari bahwa aku saat ini benar-benar sangat merindukan Kinanti. Mungkin ini penyebabnya sehingga aku bekerja di Laboratorium itu penuh dengan semangat dan fokus.
Semua pekerjaan hari ini sudah rampung dan aku sudah bersiap pulang. Alangkah lega akhirnya aku bisa menyelesaikan aktivitas hari ini. Sabtunya aku benar-benar sudah bisa melepaskan rinduku untuk Kinanti.
Dalam penerbangan jarak pendek antara Surabaya-Bandung yang bisa ditempuh 1-2 jam saja ternyata sudah cukup untuk mengingatkanku kembali semua peristiwa masa-masa SMA.
Masa-masa SMA yang begitu indah. Hal ini justru telah membuatku tidak sabar ingin segera bertemu Kinanti. Tepat pukul 10 WIB, aku sudah tiba di Bandara Husein Sastranegara.
Kinanti sudah menungguku. Aku melihat wajah cantik Kinanti penuh dengan rasa bahagia menyambut kehadiranku. Tentu saja cahaya kebahagiaan terpancar di wajah Kinanti karena malam ini merupakan malam yang spesial.Â
Untuk yang pertama kali aku berkunjung ke rumah Kinanti sebagai calon suaminya. Apalagi kunjungan ini juga sekaligus membicarakan acara lamaran dan penentuan hari pernikahan.
Malam Minggu ini benar-benar aku habiskan bersama Kinanti di sebuah Kafe yang cukup ramai di jalan Riau. Hanya sekedar mengisi makan malam sambil mengobrol bercerita saat saat SMA dulu.
Ah alangkah romantisnya. Kadang kami tertawa karena teringat peristiwa konyol saat SMA dulu. Tidak terlalu malam kami kembali ke rumah Kinanti di Arcamanik. Kami melanjutkan obrolan di beranda. Udara Kota Bandung sangat mendukung, cerah tanpa awan dan ada bulan sabit di ufuk langit menandakan awal bulan Qomariah telah tiba.
"Alan ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Kinanti mulai serius.
"Tentang apa Kinan?"
"Tentang pernikahan kita. Aku hanya minta dua permintaan kepadamu. Tapi ini bukan syarat lho hanya permintaanku," kata Kinanti.
"Permintaan apa Kinan, inshaa Allah aku akan memenuhinya," kataku yakin.
"Alan setelah kita menikah nanti mungkin terlalu riskan bagiku andai aku harus hamil untuk anak kita," kata Kinanti.
"Tentu saja Kinan. Bagiku cukup Intan sebagai anak kita. Dia adalah anak putri yang sangat aku banggakan," kataku menenangkan Kinanti.
"Alan tidakkah kau ingin memiliki anak dari aliran darahmu sendiri?" Tanya Kinanti.
"Kinanti urusan anak itu aku serahkan kepada Allah. Aku tidak menuntutmu agar kita punya momongan untuk memberi Intan seorang adik." Kataku.
Aku melihat Kinanti termenung. Wajahnya menatap ke depan. Wanita ini sangat cantik dengan tatapan teduh sepasang matanya membuat damai hati ini.
"Hai jangan melamun!" Ujarku. Kinanti terperanjat.
"Lalu permintaanmu yang kedua?" Tanyaku.
"Aku teringat Listya. Saat ini dia berteman dengan kesendiriannya. Permintaanku yang kedua setelah kita menikah nanti aku rela... jika, jika kau berniat menikahi Listya agar kau bisa memiliki anak," kata Kinanti sungguh sungguh.
Aku sangat terperanjat mendengar penuturan permintaan Kinanti yang absurd ini.
"Kinanti sudahlah. Jangan bicarakan lagi Listya. Dia masih muda suatu hari nanti dia menemukan jodoh dengan yang sama-sama masih muda. Allah sendiri sudah memberikan takdirku menjadi suamimu." Â
Kinanti masih terdiam. Ketika aku genggam kedua tangannya, wanita cantik ini menatapku tajam. Kedua mata itu basah karena menangis. Aku mengusap titik air mata di kedua pipinya.
"Ingat Kinan. Sekarang masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Tidak ada wanita lain. Diana Faria dan Daisy Listya sudah menjadi masa laluku," kembali aku meyakinkan Kinanti.
"Tapi Alan..," sebelum melanjutkan kata-katanya, aku menutup bibir Kinanti dengan jari telunjukku "Stop sudah. Kita bicara tentang kebahagiaan kita saja." Kinanti terdiam.
"Aku hanya ingin memenuhi permintaanmu yang pertama. Lupakan permintaanmu yang kedua. Tersenyumlah sayang!"
Kinanti masih terdiam sambil menatapku tajam. Namun akhirnya wanita yang memiliki sepasang mata yang indah ini tersenyum menawan. Aku mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.
Sebenarnya aku terkejut mendengar kata-kata Kinanti yang memberi izin kepadaku untuk menikahi Listya. Hal itu hanya agar aku punya anak dari darahku sendiri, Kinanti merelakanku untuk menikahi Listya.
Wanita cantik ini benar-benar berbudi luhur. Walaupun poligami diperbolehkan oleh Agama, namun aku sangat meragukan rasa keadilanku terhadap istri-istriku nanti.
Aku bukan Rasul Allah. Biarlah aku berbahagia bersama Kinanti walaupun tidak memiliki anak darinya.
Hari-hari yang aku lalui di Kampus benar-benar rutinitas yang sangat membosankan. Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh rasa tak sabarku menunggu hari pernikahanku bulan depan.
Bisa jadi hal itu yang membuat hari-hari berjalan begitu lambat. Hari Senin adalah hari yang sangat lambat dan membosankan karena aku harus menunggu begitu lama untuk bertemu hari Sabtu saat dimana aku melepas rindu bertemu Kinanti.
Jika sore menjelang maka ada rasa lega di hati karena sehari sudah aku lalui. Seperti pada sore itu aku begitu gembira. Saat aku sedang membereskan semua buku buku di meja itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Aku terkejut ketika di sana sudah berdiri Daisy Listya. Aku menyilakannya masuk.
Tiga bulan sudah sejak suaminya meninggal, aku baru sekarang ini kembali bertemu Listya. Tetap masih cantik hanya agak kurus dan kelihatan lelah namun wajahnya sudah tidak dipenuhi beban yang berat. Wajah Listya terlihat bebas lepas dari beban beratnya selama ini.
"Pak Alan maaf tadi saya ke ruangan Bapak tapi terkunci maka langsung saja ke sini. Biasanya Pak Alan ada di Laboratorium ini," kata Listya.
Aku terharu mendengar penuturannya. Aku tahu Listya tidak pernah melupakan Laboratorium HPLC yang penuh dengan kenangan ini. Laboratorium ini memang penuh dengan cerita bersama Listya.
"Iya Listya. Memang Laboratorium ini sejak dulu adalah tempat saya untuk mencari inspirasi," kataku sambil tertawa. Mendengar ini Listya hanya tersenyum.
"Iya Pak Alan. Bagi saya Laboratorium ini penuh dengan cerita. Di sini saya mendapat bimbingan Profesor Alan. Di sini juga saya pertama kali jatuh cinta kepada orang yang saya kagumi," kata Listya tersenyum. Aku hanya mampu terdiam menyembunyikan perasaanku.
"Oh ya Pak Alan. Saya punya janji kepada Bapak!" kata Listya.
"Janji apa Lis?"
"Ini Pak Novel yang saya janjikan," sambil menyerahkan sebuah novel dengan sampul berwarna hijau dedaunan. Judul novel itu Puspita Hatiku. Aku menerima novel tersebut sambil menatap kagum.
"Listya terima kasih," kataku pendek.
Listya hanya tersenyum dan itu senyum milik Diana Faria. Senyum masa laluku.
"Pak Alan. Saya menyampaikan rasa bahagia ini kepada Bapak. Bu Kinan adalah orang yang tepat menjadi teman hidup Bapak. Inshaa Allah saat pernikahan nanti saya akan hadir untuk merasakan kebahagiaan Bapak dan Bu Kinan," suara Listya dengan senyum di bibirnya namun aku lihat kedua matanya basah dengan air mata. Aku hanya bisa memandangnya dalam kebisuan.
"Maaf Pak Alan. Saya menangis, namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya," suara Listya pelan penuh rasa haru.
Kembali aku hanya bisa terdiam memandang wajah Listya yang bersimbah air mata. Ingin rasanya aku menghapus tetes air mata yang mengalir di pipinya namun aku tidak kuasa.
Aku hanya bisa berkata dalam hati, Listya aku bisa merasakan cintamu begitu luhur. Namun aku sadar ternyata takdir yang Allah berikan kepadaku bukan menikah denganmu. Atau takdir yang Allah berikan kepadamu ternyata bukan menikah denganku. Itulah takdir kita, Listya. Â
Peristiwa Jumat sore itu menjadi catatan tersendiri bagiku. Sebuah novel berjudul 'Puspita Hatiku' yang saat ini aku genggam adalah sebuah ungkapan hati Daisy Listya.
Lalu ada sebuah kalimat dari bibir Listya yang akan selalu ku kenang sampai kapanpun:"Saya menangis, namun saya bahagia karena orang yang saya cintai sudah mendapatkan kebahagiannya"
Fakta di hatiku bahwa Listya masih ada di hati ini, seperti halnya Diana Faria namun fakta di hadapanku saat ini bahwa Kinanti Puspitasari adalah calon terbaik untuk istriku.
Dengan izin Allah, bulan depan Kinanti Puspitasari adalah istriku. Dengan izinMu juga aku memulai hidup baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H