"Alan aku juga sedang menunggu takdir Allah yang lain untukku," kata Kinanti, masih memandang foto Diana Faria.
"Aku seakan bisa merasakan cinta Diana Faria yang sangat tulus kepadamu Alan sama seperti cintanya Daisy Listya," kata Kinanti lagi.
"Andai aku juga mencintaimu Alan namun tidak seperti cintanya Diana Faria dan Daisy Listya," kata Kinanti mulai terisak.
Mendengar ini sungguh aku terkejut dan penuh harap. Perlahan aku pegang kedua tangannya sambil aku tatap tajam wajah Kinanti.
"Kinan cinta seorang hamba Allah tidak bisa disetarakan satu dengan lainnya, karena cinta itu hanya milikNya."
"Aku hanya tidak pantas untukmu Alan!"
"Kinanti pandanglah aku!" Kinanti memandangku dengan air mata yang masih berlinang di pipinya.
"Aku sungguh mencintaimu dan beritikad untuk menjadikanmu istriku, teman hidupku. Apakah kau bersedia?"
"Alan setelah Diana tiada, cintamu itu ada dalam diri Daisy Listya. Dua wanita ini seperti hidup dalam zaman yang berbeda. Aku masih belum pantas," kembali suara Kinanti lirih. Aku memegang tangannya lebih erat lagi.
"Dengar Kinan, mereka sudah menjadi masa laluku. Masa depanku adalah Kinanti Puspitasari. Aku akan menunggumu sampai kau menganggukkan kepala untuk menerima cintaku."
"Alan benarkah kau mencintaiku?" Tanya Kinanti seolah ragu dengan apa yang aku ucapkan.