"Kinanti jangan bertanya menu makanan Priangan di sini ya," sambil aku serahkan daftar menu makanan. Kinanti tersenyum sambil mengambil daftar menu yang aku sodorkan.
"Nah ini Rawon Setan! Dulu aku pernah di ajak makan Rawon setan waktu di Surabaya." Ujar Kinanti.
"Oh iya waktu itu untuk pertama kali makan rawon ya. Tapi belum pernah makan setan," kataku sambil ketawa. Kinanti tertawa lepas. Rawon adalah makanan khas Jawa Timur.
Sungguh aku melihat Kinanti bahagia sekali. Aku merasakan ada yang lain dengan Kinanti. Saat ini sikapnya kepadaku begitu penuh harap seolah dia sedang menunggu wujud sikap dan niatku dulu yang pernah aku utarakan kepadanya.
Aku harus memaklumi tidak mungkin Kinanti membuka duluan lembaran lama tersebut. Akulah yang harus membuka lembaran tersebut dan memulainya lagi untuk mengeja dan membaca hatinya.
Selama menikmati makan siang itu berkali kali aku mencuri pandang menikmati kecantikan wajah Kinanti. Maha Besar Allah yang telah menciptakan mahluk secantik ini.
Kinanti dari sejak SMA dulu sampai sekarang dalam usianya yang sudah kepala empat masih tetap cantik. Andaikan Kinanti berdampingan dengan anak gadisnya, Intan Permatasari, mereka bak kakak beradik.
Orang tidak mungkin menyangka kalau Kinanti adalah Ibunya. Kinanti, wanita berparas cantik dengan mata yang teduh, pandangan tajam, hidung bangir dan bibir selalu berhias senyum. Aku lah lelaki yang dulu waktu SMA pernah jatuh cinta kepadanya.
"Hei! Alan kenapa kamu bengong begitu?" Suara Kinanti membuatku terkejut dan membuyarkan semua angan dan lamunanku.
"Tidak apa-apa," kataku agak gugup.
"Melamun siapa Alan?" Tanya Kinanti langsung menohok tapi sambil tersenyum.