Ditengah kegundahan hatiku tetiba saja hadir seorang Kinanti Puspitasari. Wanita ini seakan kembali membawa harapan setelah aku harus kehilangan Daisy Listya. Benarkah?
Simposium Farmakologi di ITB berlangsung di Aula Barat dengan peserta yang cukup lumayan banyak. Pada siang itu sehabis rehat aku baru saja selesai menyampaikan presentasi makalahku.
Dalam acara diskusi yang cukup hangat, banyak pertanyaan dan pendapat teman-teman sejawat yang menanggapi makalahku. Mereka hampir sebagian besar adalah teman-teman dosen yang sudah aku kenal.
Ketika ada seorang peserta wanita bertanya aku memperhatikan dia seperti bukan teman-teman dosen yang selama ini aku kenal.Â
Tapi nanti dulu ketika kusimak bagaimana caranya dia bicara, warna suaranya dan profil wajahnya terutama ketika kuperhatikan matanya yang bagus itu sepertinya aku pernah mengenalnya.
Lalu ketika dia menutup pertanyaannya dengan senyum, aku seakan-akan masih ingat senyum itu. Oh benarkah dia?
BACA JUGA : Masih Ada Cinta di Ruang Hampa
Maka pada acara rehat sore itu aku berusaha mencari wanita tersebut. Akhirnya diantara kerumunan para peserta yang sedang rehat, aku melihat wanita itu berdiri di dekat pintu keluar.
Sejenak kuperhatikan wanita itu. Oh Tuhan semakin aku perhatikan maka semakin aku mengenalnya. Ternyata aku yakin sekarang, dia adalah Kinanti Puspitasari sahabatku sewaktu SMA dulu.
Aku agak pangling karena sekarang Kinanti mengenakan jilbab, tapi justru Kinanti semakin cantik dan anggun walaupun memang awalnya dia sudah cantik dan anggun.
Segera saja aku bergegas menghampirinya. "Apakah betul penglihatan saya, ibu ini bernama Kinanti Puspitasari?" Aku sengaja menyapanya dengan nama lengkapnya.
"Alan, syukurlah ternyata kamu masih ingat aku. Lucu juga kamu panggil aku ibu," katanya tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya.
"Kejutan bisa bertemu Kinanti Puspitasari di Kota Bandung ini!" Kataku sambil tertawa.
"Alan, padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen Farmasi. Tentu kalau ketemu di Kampusmu bisa lebih lucu lagi ya," kata Kinanti tertawa renyah.
"Oh ya. Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku bisa menemanimu selama di Surabaya."
"Hari Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik dong!" Kata wanita cantik yang dulu aku pernah "naksir" padanya saat SMA itu.
Kami berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA. Kinanti sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan menjadi staf Kedubes di Kuala Lumpur.
Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA memang termasuk siswi yang cerdas.
Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka bertiga.
Ternyata di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia.
"Kinan yang tidak pernah kulupa adalah suaramu, mata dan senyummu. Â Mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku, aku seperti mengenal ibu ini," kataku bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah.
"Alan jangan berlebihan ah. Tapi Al, kamu juga tidak banyak berubah dari dulu tetap ganteng. Tentunya sekarang cintamu sudah kau berikan kepada seorang wanita saja. Dulu waktu SMA cewekmu banyak. Hanya aku yang tidak jadi korbanmu," kata Kinanti sambil tertawa.
"Kinan zaman SMA dulu hanya tinggal nostalgia jangan kuatir sekarang Alan sudah menjadi orang yang hanya punya satu wanita, tapi poligami kan dibolehkan oleh agama," kataku.Â
Kami kembali tertawa dan tidak memperpanjang pembicaraan apalagi beralih menjadi diskusi tentang poligami wah bisa berdebat dengan Kinanti satu hari sendiri.
"Al aku sekarang sudah punya anak satu, seorang gadis masih kelas 3 SMA tapi ayahnya sudah meninggal. Ngomong-ngomong kamu jadinya sama siapa? Arinta, Rina, Jesica, Eva, Dian, Linda, Ana...ha ha ha cewek-cewekmu masih ada dalam daftarku. Buntutmu sudah berapa? Dulu kamu pernah bilang mau bikin anak yang banyak," Suara Kinanti bercanda.
Aku hanya tertawa dan geleng-geleng kepala ketika Kinanti menyebut nama-nama gadis yang pernah menjadi pacarku. Masa-masa SMA yang penuh dengan keindahan.
Aku tadi terkejut ketika Kinanti mengatakan bahwa suaminya sudah meninggal.
"Oh Kinan, aku turut berduka cita ya. Kapan suamimu meninggal?" Tanyaku sangat hati-hati.
"Terima kasih Al. Suamiku meninggal 3 tahun yang lalu karena terkena kanker pencernaan. Mungkin itu yang terbaik untuknya, untukku dan anakku. Kami harus menerima dengan ikhlas keputusunNya. Oh ya kamu belum jawab pertanyaanku?" kata Kinanti membelokkan arah pembicaraan.
"Pertanyaan yang mana?" Tanyaku pura-pura lupa.
"Anakmu berapa?" tegas Kinanti sambil matanya memandangku tajam. Â
"Aku belum menikah!" Kataku mantap.
"Apa? Tidak dapat aku percaya, playboy sepertimu tidak bisa memilih satu wanitapun untuk dijadikan seorang istri. Kamu jangan bercanda Alan!" Kata Kinanti seolah tidak percaya.
Aku tertawa terkekeh terutama mendengar kata "playboy" yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar.
"Awas ya Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya panjang. Calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan kami," kataku agak "baper" juga karena mengingatkanku kepada almarhumah Diana Faria.
"Oh Alan maafkan aku. Sungguh aku turut berduka. Kapan itu terjadi?" Tanya Kinanti.
"Dua puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Tetapi sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan kepergian suamimu." Kataku pelan. Â
"Ya Al ternyata kita ini tidak pernah punya apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan milik kita," kata Kinanti.
"Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arcamanik. Â Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?" Kinanti bertanya seolah ingin menguji ingatanku.Â
"Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita," kataku sambil tertawa.
Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti.Â
Aku tidak menyangka betemu kembali dengan Kinanti Puspitasari di Kota tempat kami dulu menghabiskan masa remaja SMA.
Kota Bandung, kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan bersama Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan.
Kinanti adalah gadis yang selalu mengingatkanku untuk tidak bermain-main dengan cinta. Cinta itu sangat luhur dan terhormat jangan dikotori dengan nafsu.
Aku masih ingat kata-katanya. Kinanti adalah gadis terhormat berwibawa seperti Erika dan Aini yang mampu menjaga harga dirinya dengan amanah.
Mereka adalah wanita-wanita cantik lahir batin. Teringat masa lalu ketika aku sering mempermainkan cinta dan ketika akhirnya cinta itu berlabuh di hati seorang Diana Faria.
Betapa kami saling mencintai dengan tulus. Â Betapa kami punya rencana hidup bersama untuk mengabdi kepadaNya. Namun apa boleh dikata ternyata cinta sejati itu harus diambil oleh yang Maha Memiliki.
Memang Allah adalah Pemilik cinta itu. Barangkali inilah mungkin balasan yang setimpal yang harus diterima oleh seorang Alan Erlangga, Si Playboy kurang ajar yang telah banyak menyakiti hati wanita.
Mungkin juga ketika aku mengharapkan cintaku berlabuh di hati seorang Daisy Listya ternyata Allah menentukan lain. Listya akan segera menikah dengan laki-laki lain.
Sejak pertemuan pada acara Simposium itu, aku dan Kinanti sering berhubungan. Â Hampir setiap hari selalu saja ada kontak dengan ponsel dari Kinanti.Â
Terutama pada  malam hari Kinanti kerap kali menelpon hanya untuk sekedar ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa SMA dulu.
Seperti pada malam itu Kinanti menelpon menceritakan kebahagiaan bersama suaminya dan sering kali dia merasa rindu bertemu mendiang suaminya. Jika sudah demikian maka Kinanti bercerita sambil terisak.
"Kinan sabar dan ikhlas adalah jalan terbaik untukmu," kataku menghibur.
"Ya terima kasih Alan. Aku bertemu denganmu saat ini merasa seperti bertemu dengan Malaikat. Selama ini aku tidak bisa bercerita seperti ini. Al mudah-mudahan kamu tidak bosan mendengar cerita-ceritaku ini," kata Kinanti.
"Ya Kinan dengan senang hati aku setia mendengarkan cerita-ceritamu," kataku membesarkan hatinya.
Kinanti pada usia yang sama denganku ternyata masih memiliki kecantikan yang alami. Wanita berdarah sunda tulen berkulit kuning langsat ini pesonanya masih menebar.
Kinanti. Kinanti. Kinanti Puspitasari. Â Aku juga merasa heran mengapa Kinanti belum menikah lagi. Rasanya tidak percaya jika tidak ada laki-laki yang berusaha untuk mendekatinya.
Malam itu setelah menerima telpon dari Kinanti aku tidak bisa tidur entah apa yang kupikirkan.Â
Di meja kecil sebelah tempat tidurku aku melihat Undangan Pernikahan Daisy Listya.
Memang aku sengaja menaruhnya di sana. Listya sedang apa kau disana?Â
Sabtu pekan depan Listya akan melangsungkan pernikahannya. Apakah ini yang membuatku tidak bisa tidur?
Aku selalu teringat Daisy Listya, "gadis kembarannya" Diana Faria. Kadang-kadang ada rasa putus asa ketika aku harus menyadari bahwa sebentar lagi Listya sudah menjadi istri orang lain. Biarlah kurelakan Daisy Lystia.
Ditengah kegundahan hatiku tetiba saja hadir seorang Kinanti Puspitasari. Wanita ini seakan kembali membawa harapan setelah aku harus kehilangan Daisy Listya. Benarkah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H