Segera saja aku bergegas menghampirinya. "Apakah betul penglihatan saya, ibu ini bernama Kinanti Puspitasari?" Aku sengaja menyapanya dengan nama lengkapnya.
"Alan, syukurlah ternyata kamu masih ingat aku. Lucu juga kamu panggil aku ibu," katanya tersenyum. Kinanti memang cantik dan anggun dan dulu aku sangat mengaguminya.
"Kejutan bisa bertemu Kinanti Puspitasari di Kota Bandung ini!" Kataku sambil tertawa.
"Alan, padahal Minggu depan aku mau ke Surabaya ke Kampusmu tapi ternyata takdir mempertemukan denganmu lebih cepat. Aku sebelumnya tidak tahu kamu Dosen Farmasi. Tentu kalau ketemu di Kampusmu bisa lebih lucu lagi ya," kata Kinanti tertawa renyah.
"Oh ya. Kinan rencana ke Surabaya tanggal berapa? Biar aku atur jadwalku sehingga aku bisa menemanimu selama di Surabaya."
"Hari Kamis 25 Februari. Wah Alan mau menemaniku selama di Surabaya asyiiik dong!" Kata wanita cantik yang dulu aku pernah "naksir" padanya saat SMA itu.
Kami berbincang akrab maklum sudah 25 tahun tidak bertemu ya sejak lulus SMA. Kinanti sebagai anak tunggal ikut orang tuanya ke Malaysia karena ayahnya ditugaskan menjadi staf Kedubes di Kuala Lumpur.
Kinanti melanjutkan kuliah di Malaysia sampai dengan S3. Saat ini bekerja sebagai tenaga dosen ITB. Kinanti sewaktu SMA memang termasuk siswi yang cerdas.
Saat itu tiga gadis cantik yang otaknya cemerlang adalah Erika, Aini dan Kinanti. Tidak ada yang bisa menyaingi mereka bertiga.
Ternyata di Bandung ini aku bertemu teman lama dan bercerita banyak tentang masa-masa yang sudah lewat. Masa remaja SMA yang penuh dengan nostalgia.
"Kinan yang tidak pernah kulupa adalah suaramu, mata dan senyummu. Â Mangkanya tadi waktu kamu bertanya dalam presentasiku, aku seperti mengenal ibu ini," kataku bercanda. Kinanti hanya tertawa renyah.