"Apa? Tidak dapat aku percaya, playboy sepertimu tidak bisa memilih satu wanitapun untuk dijadikan seorang istri. Kamu jangan bercanda Alan!" Kata Kinanti seolah tidak percaya.
Aku tertawa terkekeh terutama mendengar kata "playboy" yang sudah lama kata tersebut tidak pernah terdengar.
"Awas ya Kinan sekali lagi bilang aku playboy. Aku memang belum menikah dan ceritanya panjang. Calon istriku meninggal seminggu sebelum hari pernikahan kami," kataku agak "baper" juga karena mengingatkanku kepada almarhumah Diana Faria.
"Oh Alan maafkan aku. Sungguh aku turut berduka. Kapan itu terjadi?" Tanya Kinanti.
"Dua puluh tahun yang lalu. Calon istriku adalah teman kuliahku. Tetapi sekarang aku juga sudah ikhlas seperti kamu mengikhlaskan kepergian suamimu." Kataku pelan. Â
"Ya Al ternyata kita ini tidak pernah punya apa-apa dan seharusnya tidak pernah kehilangan apapun. Kita sendiri saja bukan milik kita," kata Kinanti.
"Oh ya aku sekarang tinggal sama Bapak dan Ibu di Arcamanik. Â Aku sengaja menemani mereka karena aku kan anak satu-satunya. Kamu masih ingatkan rumahku?" Kinanti bertanya seolah ingin menguji ingatanku.Â
"Ya tentu dong mana mungkin lupa rumahmu dulu kan markas grup kita," kataku sambil tertawa.
Waktu SMA dulu rumah Kinanti biasa digunakan untuk kumpul dengan sahabat-sahabat. Indra, Erika, Aini dan aku kerap juga belajar bersama di rumah Kinanti.Â
Aku tidak menyangka betemu kembali dengan Kinanti Puspitasari di Kota tempat kami dulu menghabiskan masa remaja SMA.
Kota Bandung, kota kelahiranku kembali menorehkan kenangan bersama Kinanti. Teringat masa SMA dulu betapa aku suka gonta ganti pacar dan waktu itu Kinanti adalah salah satu gadis yang tidak mampu aku tundukkan.